“Dikasih hati minta jantung”, mungkin ungkapan ini cocok dengan sikap bangsa eropa yang awalnya hanya berdagang tetapi ternyata memiliki misi lain yang ingin menguasai nusantara. Bagaimana proses penjajahan itu terjadi?. Mari kita pelajari bersama pada materi berikut ini dan dari materi ini semoga kita bisa mengambil hikmah dari peristiwa yang terjadi pada masa lalu, sehingga peristiwa tersebut tidak akan terulang pada masa depan.
1.
Perkembangan Penjajahan Portugis di Indonesia Pada bulan April 1511,
Albuquerque melakukan pelayaran dari Goa menuju Malaka dengan kekuatan
kira-kira 1200 orang dan 17 buah kapal. Peperangan pecah segera setelah
kedatangannya dan berlangsung terus secara sporadis sepanjang bulan Juli hingga
awal Agustus. Pihak Malaka terhambat oleh pertikaian antara Sultan Mahmud dan
putranya, Sultan Ahmad yang baru saja diserahi kekuasaan atas negara namun
dibunuh atas perintah ayahnya. Malaka akhirnya berhasil ditaklukan oleh
Portugis.
Albuquerque
menetap di Malaka sampai bulan November 1511, dan selama itu dia mempersiapkan
pertahanan Malaka untuk menahan setiap serangan balasan orangorang Melayu. Dia
juga memerintahkan kapal-kapal yang pertama untuk mencari Kepulauan Rempah.
Sesudah itu dia berangkat ke India dengan kapal besar, dia berhasil meloloskan
diri ketika kapal itu karam di lepas pantai Sumatera beserta semua barang
rampasan yang dijarah di Malaka.
Setelah
satu kapal layar lagi tenggelam, sisa armada itu tiba di Ternate pada tahun itu
juga. Dengan susah payah, ekspedisi pertama itu tiba di Ternate dan berhasil
mengadakan hubungan dengan Sultan Aby Lais. Sultan Ternate itu berjanji akan
menyediakan cengkeh bagi Portugis setiap tahun dengan syarat dibangunnya sebuah
benteng di pulau Ternate. Hubungan dagang yang tetap dirintis oleh Antonio de
Abrito. Hubungannya dengan Sultan Ternate yang masih anak-anak, Kacili Abu
Hayat, dan pengasuhnya yaitu Kacili Darwis berlangsung sangat baik. Pihak
Ternate tanpa ragu mengizinkan De Brito membangun benteng pertama Portugis di
Pulau Ternate (Sao Joao Bautista atau Nossa Seighora de Rossario) pada tahun
1522. Penduduk Ternate menggunakan istilah Kastela untuk benteng itu, bahkan
kemudian benteng itu lebih dikenal dengan nama benteng Gamalama. Sejak tahun
1522 terjalin suatu hubungan dagang (cengkih) antara Portugis dan Ternate
Gambar : Benteng Portugis di Ternate (sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Benteng_Kastela)
Hubungan
Ternate dan Portugis berubah menjadi tegang karena upaya Portugis melakukan
kristenisasi dan karena perilaku orang-orang Portugis yang tidak sopan. Pada
tahun 1535, orang-orang Portugis di Ternate menurunkan Raja Tabariji (1523-
1535) dari singgasananya dan mengirimnya ke Goa yang dikuasai Portugis. Disana
dia masuk Kristen dan memakai nama Dom Manuel, dan setelah dinyatakan tidak
terbukti melakukan hal-hal yang dituduhkan kepadanya, dia dikirim kembali ke
Ternate untuk menduduki singgasananya lagi. Akan tetapi dalam perjalanannya dia
wafat di Malaka pada tahun 1545. Namun sebelum wafat, dia menyerahkan Pulau
Ambon kepada orang Portugis yang menjadi ayah baptisnya, Jordao de Freitas.
Akhirnya orang-orang Portugis yang membunuh Sultan Ternate, Hairun (1535- 1570)
pada tahun 1570, diusir dari Ternate pada tahun 1575 setelah terjadi
pengepungan selama 5 tahun. Mereka kemudian pindah ke Tidore dan membangun
benteng baru pada tahun 1578. Akan tetapi Ambonlah yang kemudian menjadi pusat
utama kegiatan-kegiatan Portugis di Maluku sesudah itu. Ternate sementara itu
menjadi sebuah negara yang gigih menganut Islam dan anti Portugis dibawah
pemerintahan Sultan Baabullah (1570-1583) dan putranya Sultan Said ad-Din
Berkat Syah (1584-1606). Diantara para petualang Portugis tersebut ada seorang
Eropa yang tugasnya memprakarsai suatu perubahan yang tetap di Indonesia Timur.
Orang ini bernama Francis Xavier (1506-1552) dan Santo Ignaius Loyola yang
mendirikan orde Jesuit. Pada tahun 1546-1547, Xavier bekerja di tengah-tengah
orang Ambon, Ternate, dan Moro untuk meletakkan dasar-dasar bagi suatu misi
yang tetap disana. Pada tahun 1560-an
terdapat sekitar 10.000 orang katolik di wilayah itu dan pada tahun 1590-an
terdapat 50.000-an orang. Orang-orang Dominik juga cukup sukses mengkristenkan
Solor. Pada tahun 1590-an orang-orang Portugis dan penduduk lokal yang beragama
Kristen di sana diperkirakan mencapai 25.000 orang Selama berada di Maluku,
orangorang Portugis meninggalkan beberapa pengaruh kebudayaan mereka seperti
baladabalada keroncong romantis yang dinyanyikan dengan iringan gitar berasal
dari kebudayaan Portugis.Kosa kata Bahasa Indonesia juga ada yang berasal dari
bahasa Portugis yaitu pesta, sabun, bendera, meja, Minggu, dll. Hal ini
mencerminkan peranan bahasa Portugis disamping bahasa Melayu sebagai lingua
franca di seluruh pelosok nusantara sampai awal abad XIX. Bahkan di Ambon masih
banyak ditemukan nama-nama keluarga yang berasal dari Portugis seperti da
Costa, Dias, de Fretas, Gonsalves, Mendoza, Rodriguez, da Silva, dan lain-lain.
Pengaruh besar lain dari orang-orang Portugis di Indonesia yaitu penanaman
agama Katolik di beberapa daerah timur di Indonesia.
2. Perkembangan Penjajahan
Spanyol di Indonesia
Portugis
dan Spanyol merupakan tumpuan kekuatan gereja Katholik Roma semenjak perluasan
wilayah yang dilakukan kesultanan Ottoman di Mediterania pada abad ke-XV.
Selain itu Portugis dan Spanyol juga tempat pengungsian pengusaha dan
tenaga-tenaga terampil asal Konstantinopel ketika dikuasai kesultanan Ottoman
dari Turki pada 1453. Pemukiman tersebut menyertakan alih pengetahuan ekonomi
dan maritim di Eropa Selatan. Sejak itupun Portugis dan Spanyol menjadi
adikuasa di Eropa. Alih pengetahuan diperoleh dari pendatang asal
Konstantinopel yang memungkinkan bagi kedua negeri Hispanik itu melakukan
perluasan wilayah-wilayah baru diluar daratan Eropa dan Mediterania. Sasaran
utama adalah Asia-Timur dan Asia-Tenggara. Mulanya perluasan wilayah antara
kedua negeri terbagi dalam perjanjian Tordesillas, tahun 1492. Portugis kearah
Timur sedangkan Spanyol ke Barat. Masa itu belum ada gambaran bahwa bumi itu
bulat. Baru disadari ketika kapal- kapal layar kedua belah pihak bertemu di
perairan Laut Sulawesi. Kenyataan ini juga menjadi penyebab terjadi proses
reformasi gereja, karena tidak semua yang menjadi “fatwa” gereja adalah
Undang-Undang, hingga citra kekuasaan Paus sebagai penguasa dan wakil Tuhan di
bumi dan sistem pemerintahan absolut theokratis ambruk. Keruntuhan ini terjadi
dengan munculnya gereja Protestan rintisan Martin Luther dan Calvin di Eropa
yang kemudian menyebar pula ke berbagai koloni Eropa di Asia, Afrika dan
Amerika.
Dari
kesepakatan Tordisalles itu, Portugis menelusuri dari pesisir pantai Afrika dan
samudera Hindia. Sedangkan Spanyol menelusuri Samudera Atlantik, benua Amerika
Selatan dan melayari samudera Pasifik. Pertemuan terjadi ketika kapal-kapal
Spanyol pimpinan Ferdinand Maggelan menelusuri Pasifik dan tiba di pulau Kawio,
gugusan kepulauan Sangir dan Talaud di Laut Sulawesi pada 1521. Untuk mencegah
persaingan di perairan Laut Sulawesi dan Maluku Utara, kedua belah pihak
memperbarui jalur lintas melalui perjanjian Saragosa pada tahun 1529.
Perjanjian tersebut membagi wilayah dengan
melakukan
batas garis tujuh belas derajat lintang timur di perairan Maluku Utara. Namun
dalam perjanjian tersebut,Spanyol merasa dirugikan karena tidak meraih lintas
niaga dengan gugusan kepulauan penghasil rempah-rempah. Untuk itu mengirimkan
ekspedisi menuju Pasifik Barat pada 1542.
Pada
bulan Februari tahun itu lima kapal Spanyol dengan 370 awak kapal pimpinan Ruy
Lopez de Villalobos menuju gugusan Pasifik Barat dari Mexico . Tujuannya untuk
melakukan perluasan wilayah dan sekaligus memperoleh konsesi perdagangan
rempah-rempah di Maluku Utara.
Dari
pelayaran ini Villalobos mendarat digugusan kepulauan Utara disebut Filipina,
di ambil dari nama putera Raja Carlos V, yakni Pangeran Philip, ahli waris
kerajaan Spanyol. Sekalipun Filipina tidak menghasilkan rempah-rempah, tetapi
kedatangan Spanyol digugusan kepulauan tersebut menimbulkan protes keras dari
Portugis. Alasannya karena gugusan kepulauan itu berada di bagian Barat, di
lingkungan wilayahnya. Walau mengkonsentrasikan perhatiannya di AmerikaTengah,
Spanyol tetap menghendaki konsesi niaga rempah-rempah Maluku-Utara yang juga
ingin didominasi Portugis. Tetapi Spanyol terdesak oleh Portugis hingga harus
mundur ke Filipina. Akibatnya Spanyol kehilangan pengaruh di Sulawesi Utara
yang sebelumnya menjadi kantong ekonomi dan menjalin hubungan dengan masyarakat
Minahasa.
Peperangan
di Filipina Selatan turut memengaruhi perekonomian Spanyol. Penyebab utama
kekalahan Spanyol juga akibat aksi pemberontakan pendayung yang melayani
kapal-kapal Spanyol. Sistem perkapalan Spanyol bertumpu pada pendayung yang
umumnya terdiri dari budak-budak Spanyol. Biasanya kapal Spanyol dilayani
sekitar 500 – 600 pendayung yang umumnya diambil dari penduduk wilayah yang
dikuasai Spanyol. Umumnya pemberontakan para pendayung terjadi bila ransum
makanan menipis dan terlalu dibatasi dalam pelayaran panjang, untuk
mengatasinya Spanyol menyebarkan penanaman palawija termasuk aneka ragam cabai
(rica), jahe (goraka), dan kunyit. Kesemuanya di tanam pada setiap wilayah yang
dikuasai untuk persediaan logistik makanan awak kapal dan ratusan pendayung.
Sejak itu budaya makan “pidis” yang diramu dengan berbagai bumbu masak yang
diperkenalkan pelaut Spanyol menyebar pesat dan menjadi kegemaran masyarakat
Minahasa.
Ada
pula yang menarik dari peninggalan kuliner Spanyol, yakni budaya Panada. Kue
ini juga asal dari penduduk Amerika-Latin yang di bawa oleh Spanyol melalui
lintasan Pasifik. Bedanya, adonan panada, di isi dengan daging sapi ataupun
domba, sedangkan panada khas Minahasa di isi dengan ikan.
Kota
Kema merupakan pemukiman orang Spanyol, dimulai dari kalangan “pendayung” yang
menetap dan tidak ingin kembali ke negeri leluhur mereka. Mereka menikahi
perempuan-perempuan penduduk setempat dan hidup turun-temurun. Kema kemudian
juga dikenal para musafir Jerman, Belanda dan Inggris. Mereka ini pun berbaur
dan berasimilasi dengan penduduk setempat, sehingga di Kema terbentuk
masyarakat pluralistik dan memperkaya Minahasa dengan budaya majemuk dan hidup berdampingan
harmonis. Itulah sebabnya hingga masyarakat Minahasa tidak canggung dan mudah
bergaul menghadapi orang-orang Barat.
Minahasa
juga pernah berperang dengan Spanyol yang dimulai tahun 1617 dan berakhir tahun
1645. Perang ini dipicu oleh ketidakadilan Spanyol terhadap orangorang
Minahasa, terutama dalam hal perdagangan beras, sebagai komoditi utama waktu
itu. Perang terbuka terjadi pada tahun 1644-1646. Akhir dari perang itu adalah
kekalahan total Spanyol, sehingga berhasil diusir oleh para waranei (ksatria-ksatria
Minahasa).
Era
VOC (Perserikatan Dagang Hindia Timur) Besarnya keuntungan yang diperoleh dari
perdagangan rempah-rempah dan didukung oleh pengusiran bangsa Portugis
menyebabkan para penguasa di Belanda bersaing untuk berlayar ke Maluku. Harga
rempah-rempah di Eropa pun semakin tidak terkendali. Melihat kenyataan ini.
Parlemen Belanda atau Staten Generaal mengusulkan agar semua perusahaan
pelayaran membentuk sebuah kongsi dagang pada tahun 1598. Mulai tahun 1602
Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah
Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaankerajaan kecil yang
telah menggantikan Majapahit.
Gambar : Lambang VOC (sumber : https://arahfajar.com/hak-oktroivoc/
Pada
abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah
Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda
(bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah
diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah
tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602.
3. Perkembangan Penjajahan
Belanda di Indonesia
VOC
mempunyai hak-hak istimewa yang disebut hak Oktrooi yang diberikan oleh
parlemen Balanda. Hak tersebut adalah sebagai berikut:
1) Hak
monopoli dagang di wilayah-wilayah antara Amerika Selatan dan Afrika.
2) Hak
memiliki angkatan perang dan membangun benteng pertahanan.
3) Hak
berperang dan menjajah
4) Hak
mengangkat pegawai.
5) Hak
melakukan pengadilan dan hak mencetak dan mengedarkan uang sendiri.
Di
samping hak-hak istimewanya, VOC juga memiliki kewajiban khusus terhadap
pemerintahan Belanda. VOC wajib melaporkan hasil keuntungan dagangnya kepada
Staten General atau parlemen Balanda dan membantu pemerintah Belanda dalam
kondisi perang.
Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah- rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala. VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa ini, pada tahun 1618, Pangeran Jayakarta diserang oleh Kerajaan Banten. Kerajaan Banten di bantu oleh Inggris.
Pada
tanggal 30 Mei 1619, Gubernur Jendral Jan Pieterzoon Coen, mengirimkan tujuh
belas buah kapal untuk menyerang dan memukul mundur pasukan Banten. Pasukan
Kerajaan Banten berhasil dikalahkan. Jan Pieterzon Coen kemudian membangun
kembali kota Jayakarta dan memberinya nama Batavia. Batavia dijadikan pusat
perdagangan dan kekuasaan Belanda dan Batavia juga resmi dijadikan markas besar
VOC di Indonesia. Dalam menghadapi kerajaan-kerajaan Indonesia, Belanda
melancarkan politik adu domba (devide et impera).
Pada
akhir abad ke-18, VOC mengalami kemunduran akibat kerugian yang sangat besar
dan utang yang dimilikinya berjumlah sangat besar. Hal ini juga diakibatkan
oleh:
a) persaingan
dagang dari bangsa Perancis dan Inggris,
b) penduduk
Indonesia, terutama Jawa telah menjadi miskin, sehingga tidak mampu membeli
barang-barang yang dijual oleh VOC
c) perdagangan
gelap merajalela dan menerobos monopoli perdagangan VOC,
d) pegawai-pegawai
VOC banyak melakukan korupsi dan kecurangankecurangan akibat dari gaji yang
diterimanya terlalu kecil,
e) VOC
mengeluarkan anggaran belanja yang cukup besar untuk memelihara tentara dan
pegawai-pegawai yang jumlahnya cukup besar untu memenuhi pegawai daerah-daerah
yang baru dikuasai, terutama di Jawa dan Madura.
Era
Pemerintah Hindia Belanda Maka pada tahun 1799, VOC akhirnya dibubarkan. Pada
tahun 1807, Republik Bataafsche dihapuskan oleh Kaisar Napoleon Bonaparte dan
diganti bentuknya menjadi Kerajaan Holland di bawah pemerintahan Raja Louis
Napoleon Bonaparte (adik dari Kaisar Napoleon).
VOC
akhirnya dibubarkan pada tahun 1799. Segala tanggung jawab VOC diambil alih
oleh Kerajaan Belanda dan terbentuknya pemerintahan Hindia Belanda (Nederlands
Indies). Pengambilan kekuasaan ini dimaksudkan agar wilayah Indonesia tetap
berada dalam pengendalian Belanda. Dalam hal perkembangannya, Raja Louis
Napoleon Bonaperte, yang bertanggung jawab atas wilayah Kerajaan Belanda,
menunjuk Herman Williem Daendels sebagai Gubernur Jendral di Indonesia. Dari
tahun 1808-1811 Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jendral Belanda di
Indonesia dengan tugas utamanya adalah untuk mempertahankan Pulau Jawa dari
serangan pasukan Inggris. Dalam upaya tersebut, perhatian Daendels hanyalah
terhadap pertahanan dan ketentaraan.
Untuk
memperkuat angkatan perangnya, Daendels melatih orang-orang Indonesia, karena
tidak mungkin ia menambah tentaranya dari orang-orang belandayang didatangkan
dari negeri belanda. Pembangunan angkatan perangnya ini dilengkapi dengan
pendirian tangsi-tangsi atau benteng-benteng, pabrik mesiu dan juga rumah sakit
tentara. Di samping itu, atas dasar pertimbangan pertahanan, Daendels
memerintahkan pembuatan jalan pos dari Anyer di Jawa Barat sampai Panarukan di
Jawa Timur. Pembuatan jalan ini menggunakan tenaga rakyat dengan sistem kerja
paksa atau kerja rodi, hingga selesainya pembuatan jalan itu. Untuk orang
Belanda, pekerjaan menyelesaikan pembuatan jalan pos ini merupakan keberhasilan
yang gemilang, tetapi lain halnya dengan bangsa Indonesia, di mana setiap
jengkal jalan itu merupakan peringatan terhadap rintihan dan jeritan jiwa orang
yang mati dalam pembuatan jalan tersebut.
Setelah
pembuatan jalan selesai, Daendels memerintahkan pembuatan perahuperahu kecil,
karena perahu-perahu perang Belanda tidak mungkin dikirim dari negeri Belanda
ke Indonesia. Selanjutnya pembuatan pelabuhan-pelabuhan tempat bersandarnya
perahu-perahu perang itu, Daendels merencanakan di daerah Banten Selatan.
Pembuatan pelabuhan itu telah memakan ribuan korban jiwa orang Indonesia di
Banten akibat dari penyakit malaria yang menyerang para pekerja paksa. Akhirnya
pembuatan pelabuhan itu tidak selesai. Walaupun Daendels bersikeras untuk tetap
menyelesaikannya, tetapi Sultan Banten menentangnya. Daendels menganggap jiwa
rakyat Banten tidak ada harganya, sehingga hal ini mengakibatkan pecahnya
perang antara Daendels dengan Kerajaan Banten.
Di
samping itu, pembuatan pelabuhan di Merak juga mengalami kegagalan dan hanya
usaha untuk memperluas pelabuhan di Surabaya yang cukup memuaskan. Pada tahun
1810 Kerajaan Belanda di bawah pemerintahan Raja Louis Napoleon Bonaparte
dihapuskan oleh Kaisar Napoleon Bonaparte. Negeri Belanda dijadikan wilayah
kekuasaan Perancis. Dengan demikian, wilayah jajahannya di Indonesia secara
otomatis menjadi wilayah jajahan Perancis. Napoleon menganggap bahwa tindakan
Daendels sangat otokratis (otoriter), maka pada tahun 1811 ia dipanggil kembali
ke negeri Belanda dan digantikan oleh Gubernur Jenderal Jansens.
Kebijakan Cultuurstelsel
(Tanan Paksa)
Belanda
kembali menguasai wilayah Indonesia berdasarkan Konvensi London tahun 1814.
Pemerintahan kolonial Belanda selanjutnya dipegang oleh sebuah komisi yang
beranggotakan Vander Capellen, Elout, dan Buyskes. Van der Capellen mempunyai
peranan paling besar, ia merusaha mengeruk keuntungan sebanyak mungkin. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk membayar hutang-hutang Belanda yang cukup besar
selama perang. Kebijakan yang di ambil oleh Van der Capellen salah satunya
adalah dengan menyewakan tanah kepada penguasa-penguasa Eropa. Selanjutnya
pemerintah kolonial Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jendral Van den Bosch
mengambil kebijakan tanam paksa pada tahun 1830 yang dikenal sebagai
cultuurstelsel dalam bahasa Belanda yang mulai diterapkan di Indonesia.
Gambar : Kota Batavia (sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/Batavia,_Dutch_East_Indies)
Sistem
Tanam Paksa telah merendahkan harkat dan martabat Bangsa Indonesia di rendahkan
sampai menjadi perkakas bangsa Asing dalam usaha penjajah asing untuk mengisi
kasnya. Keadaan rakyat sudah tentu kacau, sawah dikurangi untuk keperluan tanam
paksa, rakyat dipaksa bekerja dimana-mana, kadang-kadang harus bekerja di kebun
yang letaknya sampai 45 kilometer dari desanya. Kerja rodi dilaksanakan, pajak
tanah harus dibayar, di pasar di peras oleh orang asing yang memborong pasar-
pasar itu. Ditambah lagi para pegawai pemerintah kolonial Belanda ikut-ikutan
memeras rakyat. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil
perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi
dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini membawa keuntungan
yang sangat besar untuk pihak Belanda dari keuntungan ini, utang Belanda dapat
dilunasi dan semua masalah keuangan bisa diatasi.
Demikianlah
nasib rakyat Indonesia yang di jajah Belanda. Akibat programprogram Belanda
yang ingin menambah kas keuangan mereka rakyat menjadi sengsara, kelaparan
merajalela, bahkan sampai menimbulkan kelaparan yang berujung kematian. Keadaan
ini menimbulkan reaksi yang keras sampai di negeri Belanda. Mereka berpendapat
bahwa sistem tanam paksa dihapuskan dan diganti keikutsertaan pihak swasta
Belanda untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sistem tanam paksa kemudia
secara berangsur-angsur dihapuskan tahun 1861, 1866, 1890, dan 1916.
Politik Pintu Terbuka
Pada
tahun 1870 di Indonesia mulai dilaksanakan politik kolonial liberal yang sering
disebut ”Politik Pintu Terbuka (open door policy)”. Sejak saat itu pemerintah
Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha asing untuk menanamkan
modalnya, khususnya di bidang perkebunan.
Periode
antara tahun 1870 -1900 disebut zaman liberalisme. Pada waktu itu pemerintahan
Belanda dipegang oleh kaum liberal yang kebanyakan terdiri dari pengusaha
swasta mendapat kesempatan untuk menanam modalnya di Indonesia dengan cara
besar-besaran. Mereka mengusahakan perkebunan besar seperti perkebunan kopi,
teh, tebu, kina, kelapa, cokelat, tembakau, kelapa sawit dan sebagainya. Mereka
juga mendirikan pabrik seperti pabrik gula, pabrik cokelat, teh, rokok, dan
lain-lain. Pelaksanaan politik kolonial liberal ditandai dengan keluarnya
undang-undang Agraria dan Undang-Undang Gula.
Undang-Undang Agraria
(Agrarische Wet) 1870
Undang-undang
ini merupakan sendi dari peraturan hukum agraria kolonial di Indonesia yang
berlangsung dari 1870 sampai 1960. Peraturan itu hapus dengan dikeluarkannya
UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960) oleh Pemerintah Republik
Indonesia. Jadi Agrarische Wet itu telah berlangsung selama 90 tahun hampir
mendekati satu abad umurnya.Wet itu tercantum dalam pasal 51 dari Indische
Staatsregeling, yang merupakan peraturan pokok dari undang-undangHindia
Belanda.
Menteri
jajahan Belanda De Waal, berjasa menciptakan wet ini yang isinya, antara lain
sebagai berikut:
1. Gubernur
jenderal tidak boleh menjual tanah
2. Gubernur
jenderal boleh menyewakan tanah menurut peraturan undangundang.
3. Dengan
peraturan undang-undang akan diberikan tanah-tanah dengan hak Erfpacht, yaitu
hak pengusaha untuk dapat menyewa tanah dari gubernemen paling lama 75 tahun,
dan seterusnya.
Undang-undang
agraria pada intinya menjelaskan bahwa semua tanah milik penduduk Indonesia
adalah milik pemerintah kerajaan Belanda. Maka pemerintah Belanda memberi
mereka kesempatan untuk menyewa tanah milik penduduk dalam jangka waktu yang
panjang. Sewa-menyewa tanah itu diatur dalam Undang-Undang Agraria tahun 1870.
Undang-undang itu juga dimaksudkan untuk melindungi petani, agar tanahnya tidak
lepas dari tangan mereka dan jatuh ke tangan para pengusaha. Tetapi seringkali
hal itu tidak diperhatikan oleh pembesar-pembesar pemerintah. Dengan dibukanya
perkebunan di daerah pedalaman, maka rakyat di desa- desa langsung berhubungan
dengan dunia modern. Mereka mulai benar-benar mengenal artinya uang. Mereka
juga mengenal hasil bumi yang diekspor dan barang luar negeri yang diimpor,
seperti tekstil. Hal ini tentu membawa kemajuan bagi petani. Sebaliknya usaha
bangsa sendiri banyak yang terdesak, misalnya usaha kerajinan, seperti
pertenunan menjadi mati. Di antara pekerja-pekerjanya banyak yang pindah
bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik. Karena adanya perkebunan- perkebunan itu,
Hindia Belanda menjadi negeri pengekspor hasil perkebunan.
Undang-Undang Gula (Suiker
Wet)
Dalam
undang-undang ini ditetapkan bahwa tebu tidak boleh diangkut ke luar Indonesia,
tetapi harus diproses di dalam negeri. Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus
secara bertahap dan diambil alih oleh pihak swasta. Pihak swasta juga diberi
kesempatan yangluas untuk mendirikan pabrik gula baru. Sejak itu Hindia Belanda
menjadi negara produsen hasil perkebunan yang penting. Apalagi sesudah Terusan
Suez dibuka, perkebunan tebu menjadi bertambah luas, dan produksi gula juga
meningkat
Gambar : Pabrik gula (sumber https://klatenqta.wordpress.com/dulu dan-kini/pabrik-gula-gondang-baru/
Terbukanya
Indonesia bagi swasta asing berakibat munculnya perkebunanperkebunan swasta
asing di Indonesiaseperti perkebunan teh dan kina di Jawa Barat, perkebunan tembakau
di Deli, Sumatera Timur, perkebunan tebu di Jawa Tengah dan JawaTimur,dan perkebunan karet di Serdang.Selain dibidang perkebunan, juga terjadi penanaman modal di bidang pertambangan,
seperti tambang timah di Bangka dan tambang batu bara di Umbilin.
Khusus
perkebunan di Sumatera Timur yaitu Deli dan Serdang, tenaga kerjanya
didatangkan dari Cina di bawah sistem kontrak. Dengan hapusnya sistem
perbudakan, maka sistem kerja kontrak kelihatan sebagai jalan yang paling logis
bagi perkebunan perkebunan
Sumatera Timur, untuk memperoleh jaminan bahwa mereka dapat memperoleh dan
menahan pekerja-pekerja untuk beberapa tahun.
Dalam
tahun 1888 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pertama mengenai
persyaratan hubungan kerja kuli kontrak di Sumatera Timur yang disebut (Koelie
Ordonnantie). Koeli Ordonnantie ini, yang mula-mula hanya berlaku untuk
SumateraTimur tetapi kemudian berlaku pula di semuawilayahHindia Belanda di
luar Jawa, memberi jaminan-jaminan tertentu pada majikan terhadap kemungkinan
pekerja- pekerja melarikan diri sebelum masa kerja mereka menurut kontrak kerja
habis. Di lain pihak juga diadakan peraturan-peraturan yang melindungi para
pekerja terhadap tindakan sewenang-wenang dari sang majikan. Untuk memberi
kekuatan pada peratuan-peraturan dalam Koeli Ordonnantie, dimasukkan pula
peraturan mengenai hukuman-hukuman yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran,
baik dari pihak majikan maupun dari pihak pekerja. Dalam kenyataan ternyata
bahwa ancaman hukuman yang dapat dikenakan terhadap pihak majikan hanya
merupakan peraturan di atas kertas jarang atau tidak pernah dilaksanakan.
Dengan demikian ancaman hukuman untuk pelanggaran-pelanggaran hanya jatuh di
atas pundak pekerjapekerja perkebunan. Ancaman hukuman yang dapat dikenakan
pelaksanaan politik pintu terbuka, tidak membawa perubahan bagi bangsa
Indonesia. Bangsa Indonesia tetap buruk nasibnya. Banyak di antara penduduk
yang bekerja di perkebunan-perkebunan swasta dan pabrik-pabrik dengan
perjanjian kontrak kerja. Mereka terikat kontrak yang sangat merugikan. Mereka
harus bekerja keras tetapi tidak setimpal upahnya dan tidak terjamin makan dan
kesehatannya. Nasib rakyat sungguh sangat sengsara dan miskin.
Kebijakan Politik Etis
Melihat
kenyataan banyaknya rakyat Indonesia yang menderita akibat kenijakan Pemerintah
Kolonial Belanda, para pengabdi kemanusiaan yang dulu menentang tanam paksa,
mendorong pemerintah colonial untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia. Sudah
menjadi kewajiban pemerintah Belanda untuk memajukan bangsa Indonesia, baik jasmani
maupun rohaninya. Dengan dalih untuk memajukan bangsa Indonesia itulah kemudian
dilaksanakan Politik Etis.
Pada
pekerja-pekerja perkebunan yang melanggar ketentuan- ketentuan kontrak kerja
kemudian terkenal sebagai poenale sanctie. Poenale sanctie membuat ketentuan
bahwa pekerja-pekerja yang melarikan diri dari perkebunanperkebunan Sumatera
Timur dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa kembali ke perkebunan dengan
kekerasan jika mereka mengadakan perlawanan. Lain-lain hukuman dapat berupa
kerja paksa pada pekerja-pekerja umum tanpa pembayaran atau perpanjangan masa
kerja yang melebihi ketentuan-ketentuan kontrak kerja.
Pencetus
politik etis (politik balas budi) ini adalah Van Deventer. Van Deventer
memperjuangkan nasib bangsa Indonesia denga nmenulis karangan dalam majalah
DeGids yang berjudul Eeu Eereschuld (Hutang Budi). Van Deventer menjelaskan
bahwa Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Indonesia. Hutang budi itu
harus dikembalikan dengan memperbaiki nasib rakyat, mencerdaskan dan memakmurkan.
Menurut
Van Deventer, ada tiga cara untuk memperbaiki nasib rakyat tersebut, yaitu
memajukan.
a. Edukasi
(Pendidikan). Dengan edukasi akan dapat meningkatkan kualitas bangsa Indonesia
sehingga dapat diajak memajukan perusahaan perkebunan dan mengurangi
keterbelakangan.
b. Irigasi
(pengairan). Dengan irigasi tanah pertanian akan menjadi subur dan produksinya
bertambah.
c. Emigrasi
(pemindahan penduduk). Dengan emigrasi tanah-tanah di luar Jawa yang belum
diolah menjadi lahan perkebunan, akan dapat diolah untuk menambah penghasilan.
Selain itu juga untuk mengurangi kepadatan penduduk Jawa.
Pendukung
Politik Etisusulan Van Deventer adalah sebagai berikut.
1) Mr. P.
Brooshoof, redaktur surat kabar De Lokomotif, yang pada tahun 1901 menulis buku
berjudul De Ethische Koers In de Koloniale Politiek (Tujuan Ethis dalam Politik
Kolonial).
2) K.F.
Holle, banyak membantu kaum tani.
3) Van
Vollen Hoven, banyak memperdalam hokum adat pada beberapa suku bangsa di
Indonesia.
4) Abendanon,
banyak memikirkan soal pendidikan penduduk pribumi.
5) Leivegoed,
seorangjurnalis yang banyak menulis tentang rakyat Indonesia.
6) Van
Kol, banyak menulis tentang keadaanp emerintahan Hindia Belanda.
7) Douwes
Dekker (Multatuli), dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar, bercerita tentang
kondisi masyarakat Indonesia saat itu.
Usulan
Van Deventer tersebut mendapat perhatian besar dari pemerintah Belanda,
pemerintah Belanda menerima saran tentang Politik Etis, namun akan diselaraskan
dengan sistem kolonial di Indonesia. (Edukasi dilaksanakan, tetapi semata-mata
untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan). Pendidikan dipisahpisah antara
orang Belanda, anak bangsawan, dan rakyat. Bagi rakyat kecil hanya tersedia
sekolah rendah untuk mendidik anak menjadi orang yang setia pada penjajah,
pandai dalam administrasi dan sanggup menjadi pegawai dengan gaji yang rendah.
Dalam
bidang irigasi (pengairan) diadakan pembangunan dan perbaikan. Tetapi pengairan
tersebut tidak ditujukan untuk pengairan sawah dan ladang milik rakyat, namun
untuk mengairi perkebunan-perkebunan milik swasta asing dan pemerintah
kolonial.
Emigrasi
juga dilaksanakan oleh pemerintah Belanda bukan untuk memberikan penghidupan
yang layak serta pemerataan penduduk, tetapi untuk membuka hutanhutan baru di
luar pulau Jawa bagi perkebunan dan perusahaan swasta asing. Selain itu juga
untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah.
Jelaslah
bahwa pemerintah Belanda telah menyelewengkan Politik Etis. Usahausaha yang
dilaksanakan baik edukasi, irigasi, dan emigrasi, tidak untuk memajukan
rakyatIndonesia,tetapi untukkepentinganpenjajahitusendiri.SikappenjajahBelanda
yang demikian itu telah menyadarkan bangsa Indonesia bahwa penderitaan dan
kemiskinan rakyat Indonesia dapat diperbaiki jika bangsa Indonesia bebas
merdeka dan berdaulat.
4. Perkembangan Penjajahan
Inggris di Indonesia
Penjajahan
Inggris di Indonesia berlangsung singkat yaitu sekitar 5 tahun. Inggris
menguasai pulau Jawa setelah melakukan penyerangan dengan menggunakan 60 kapal
dan berhasil menguasai Batavia pada 26 Agustus 1811 kemudian diteruskan dengan
Kapitulasi Tuntang pada 18 September 1811 Belanda menyerahkan Indonesia kepada
Inggris. Saat itu yang memimpin Indonesia adalah Stamford Raffles yang memiliki
kebijakan-kebijakan diantaranya.
a. Pemerintahan
Raffles membagi pulau Jawa
menjadi 16 Karesidenan, sistem ini diteruskan Belanda sampai akhir pendudukan
di Indonesia. Dengan adanya sistem karesidenan ini memudahkan Inggris dalam
mengorganisir pemerintahan. Selain itu juga mengubah sistem pemerintahan ke
corak barat.
b. Bidang
Ekonomi
Penghapusan kewajiban tanaman
ekspor menjadi awal kebijakan Raffles, selain itu Raffles juga menghapus pajak
hasil bumi (Contingenten) serta sistem penyerahan wajib (Verplichte leverentie)
yang dahulu diterapkan oleh VOC. Raffles melakukan sistem sewa tanah untuk
mendapatkan pemasukan kas Inggris. Namun pelaksanaannya mengalami kegagalan,
ada 3 faktor yang menjadi penyebab kegagalan yaitu : Sulitnya menentukan jumlah
pajak tanah karena harus melakukan pengukuran dan penelitian tentang kesuburan
tanah, Sistem uang sebagai pajak yang harusdibayar belum berlaku sepenuhnyadi
masyarakatIndonesia,Kepemilikantanah masih bersifat tradisional.
c. Hukum
Pada bidang hukum, Raffles
mengubah pelaksanaan hukum yang sebelumnya pada pemerintahan Daendels
berorientasi pada ras (warna kulit) namun pada masa Raffles lebih cenderung
pada besar kecilnya kesalahan.
d. Sosial
Raffles menghapus adanya kerja
rodi dan perbudakan, namun dalam kenyataannya Raffles juga melakukan
pelanggaran undang - undang dengan melakukan kegiatan serupa.
e. Ilmu
Pengetahuan
Pada bidang Ilmu pengetahuan
Raffles menulis suatu buku yang dinamakan History of Java di London 1817.
Selain itu ia juga menulis buku History of the East Indian Archipelago. Raffles
mendukung perkumpulan Bataviaach Genootschap serta melakukan temuan berupa
bunga Rafflesia Arnoldi. Raffles juga pernah mengundang para ahli pengetahuan
dari luar negeri untuk melakukan penelitian - penelitian di Indonesia. Raffles
menemukan bunga raksasa yang diyakini sebagai bunga terbesar di dunia bersama
seroang bernama Arnoldi. Adanya gejolak di Eropa atas situasi Inggris dan
Belanda berdampak pula bagi pemerintahan Indonesia di bawah Inggris.
Ditandatanganinya perjanjian London yang berisi bahwa Belanda mendapatkan kembali
jajahannya pada 1814 menjadi akhir dari pemerintahan Inggris di Indonesia.
Belanda secara resmi kembali menguasai Indonesia semenjak tahun 1816.
f. Kebijakan
Sewa Tanah Masa Pemerintahan Raffles
Setelah Inggris menguasai
Indonesia, Raffles ditunjuk untuk menjadi Gubernur EIC (East Indies Company) di
Indonesia yang diangkat pada 19 Oktober 1811 dan menjabat selama lima tahun
(1811 - 1816). Raffles yang menjabat sebagai Gubernur melakukan perubahan -
perubahan baik di bidang ekonomi maupun pemerintahan. Kebijakan Contingenten
yang sebelumnya diterapkan oleh pemerintahan Daendels kemudian diganti dengan
kebijakan sistem sewa tanah (Landrent). Dengan adanya kebijakan ini, pribumi
harus membayar sewa atas tanah mereka, karena semua tanah dianggap milik negara.
g. Pokok
Sistem Sewa Tanah
1. Kerja
paksa dan penyerahan wajib yang pernah berlaku dihapuskan.
2. Hasil
pertanian oleh pribumi diambil langsung oleh pemerintah tanpa adanya perantara
dari bupati.
3. Rakyat harus membayar tanah atas kepemilikan tanah yang mereka pergunakan kepada pemerintah.
h. Kegagalan
Sistem Sewa Tanah
1) Sulitnya
menentukan pajak untuk luas yang berbeda-beda kepada pemilik tanah.
2) Sulitnya
menentukan tingkat kesuburan suatu tanah
3) Terbatasnya
jumlah pegawai
4) Sistem
uang belum sepenuhnya berlaku di masyarakat pedesaan
i. Pembagian
Wilayah Pada Masa Pemerintahan Raffles
Kebijakan selanjutnya yang
dilakukan oleh Raffles yaitu dengan membagi wilayah Jawa menjadi 16 daerah
karesidenan. Kebijakan ini dilakukan agar pemerintahan Inggris lebih mudah
dalam melakukan pengawasan terhadap daerah - daerah di pulau Jawa. Setiap
residen tersebut dikepalai oleh seorang residen dan asisten residen. 16
Karesidenan tersebut diantaranya Madura, Banyuwangi, Besuki, Pasuruan, Surabaya,
Gresik, Rembang, Jepara, Jipang-Grobogan, Kedu, Semarang, Pekalongan, Tegal, Cirebon, Batavia dan Banten. Untuk wilayah
pedalaman yaitu pada Kasunana Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta wilayah
tersebut meliputi Mancanegara Wetan dan Mancanegara Kilen. Setelah menentukan
16 karesidenan, kemudian karesidenan tersebut dibagi menjadi wilayah kabupaten
yang dipimpin oleh seorang bupati. Bupati tersebut dibantu oleh seorang patih
yang bertugas sebagai pengawas teritorial. Kepala residen membawahi bidang pemerintahan,
peradilan serta pajak negara.
Rangkuman
1. Penjajahan
Portugis diawali dari Alfonso de Albuquerque yang menyerang Malakadanberhasil
menguasainya pada tahun1511. Malaka saatitu diperkirakan memiliki banyak
kekayaanberupa rempah-rempah.Di bawah pimpinanFrancisco Serro sampai di Maluku
pada tahun 1512 tepatnya di ternate setelah sebelumnya singgah terlebih dahulu
di Gresik dan Banda.Portugis mampu menguasai Maluku dikarenakan jasanya
membantu Ternate mengalahkan Tidore.
2. Kedatangan
bangsa Spanyol di Maluku merupakan impian yang menjadi nyata bagi bangsa
Spanyol yaitu sampai di daerah penghasil rempah - rempah. Orang - orang Spanyol
kemudian melakukan perdagangan dengan orang - orang Maluku. Kedatangan dan
perdagangan bangsa Spanyol di Maluku menimbulkan pertentangan oleh bangsa
Portugis yang menganggap bahwa Spanyol melanggar hakmonopoliPortugis.
Selanjutnya terjadipersaingandagang antaraPortugisdan Spanyol uang kemudian
diselesaikan dengan perjanjian Saragoza 1529.
3. Perkembangan Penjajahan Belanda di Indonesia diawali dari pendirian VOC. VOC dibentuk pada Maret 1602 karena adanya persaingan dagang antara sesama kongsi dagang Belanda. Tujuan dibentuk VOC untuk mengatasi persaingan antara para pedagang Belanda. Setelah VOC bubar dan diambil alih oleh Belanda, maka Raja Louis Napoleon Bonaparte menunjuk Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia.Herman Willem Daendels berkuasa dari tahun 1808 sampai 1811. Belanda menguasai kembali Indonesia setelah berhasil mengalahkan Inggris dengan adanya Konvensi London tahun 1814. Kekuasaan Inggris di Indonesia diwakili oleh Maskapai Hindia Timur (The East India Company) disingkat EIC yang berpusat di Calcutta, India. EIC mendapat hak Oktrooi dari Ratu Elizabeth I. Saat Gubernur Jenderal Lord Minto menjadi pemimpin EIC, dia mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda.
No comments:
Post a Comment