ANCAMAN PEMBERONTAKAN PKI MADIUN 1948 DAN GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965
1. Pemberontakan
PKI Madiun 1948
Bermula pada bulan November 1948, ketika Presiden Soekarno
memanggil gubernur seluruh Indonesia, itu
tepat diperingati sebagai hari pahlawan di Yogyakarta yang dihadiri para
pejabat pemerintah, salah satunya adalah gubernur Soerjo. Setelah menghadiri
peringatan hari pahlawan, Gubernur Soerjo pamit undur diri untuk pergi ke Madiun.
Sebelum sampai di Madiun mobil beliau dicegat anggota Bataliyon FDR, Partai Komunis
Indonesia (PKI) pimpinan Maladi Yusuf ditengah Hutan Peleng, Kedunggalar, Ngawi.
endaraan yang digunakan Gubernur Soerjo
dan dua perwira polisi itu pun dibakar oleh. Ketiganya kemudian ditelanjangi
dan dicaci maki, ketiganya diikat, lalu diseret hingga lebih dari 5 KM dengan
menggunakan kuda. Dua perwira polisi tersebut lebih dahulu meninggal akibat
diseret. Mereka terus menyeret Gubernur Soerjo melewati aliran sungai Bengawan
Solo, Sungai sonde, dan Kali Kakah. Di Sungai Kakah itulah Gubernur Suryo gugur
ditangan kelompok FDR tersebut. Empat hari kemudian, jenazah Gubernur Soerjo
dan dua perwira polisi baru ditemukan dalam kondisi sangat mengenaskan. Jenazah
itu kemudian dimakamkan di Sasono Mulyo yg terletak di Sawahan, Kabupaten
Magetan.
Meskipun sudah 72 tahun telah berlalu namun peristiwa PKI Madiun tak akan pernah sirna dari perjalanan panjang dinamika perkembangan politik di Indonesia. Peristiwa PKI 48 merupakan peristiwa yang kelam dengan terenggutnya banyak nyawa terutama dari kaum ulama. Apakah sebenarnya latar belakang PKI melakukan pemberontakan dan apakah tujuan sebenarnya dari pemberontakan PKI Madiun tesebut?
Di atas kapal USS Renville yang saat itu tengah berlabuh di
Tanjung Priok telah ditanda tangani sebuah perjanjian antara Belanda dengan
Indonesia bersama Komisi Tiga Negara (KTN) yang dikenal sebagai perjanjian
Renville. Seperti yang telah kalian pelajari pada materi sejarah Indonesia kelas
XI Penandatanganan perjanjian Renville yang dilaksanakan pada tanggal 17
Januari 1948 dinilai sangat merugikan bangsa Indonesia yang baru mereka karena
wilayah Indonesia semakin sempit.
Tokoh dalam gambar adalah orang yang dianggap paling
bertanggung jawab terhadap penandatanganan perjanjian Renville. Persetujuan
terhadap perjanjian inilah yang akhirnya menyebabkan kabinetnya jatuh dengan
mosi tidak percaya dan anggotaanggota PNI dan Masyumi dalam kabinetnya juga
ikut mundur pasca disetujuinya perjanjian Renville.
Dengan mundurnya dia dari kursi perdana mentri, menyebabkan dia menjadi seorang yang oposan kepada pemerintah. Kekecewaan terhadap kejatuhannya dari kursi perdana menetri membuatnya membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948 yang mendapatkan dukungan dari PKI, Sobsi, dan partai Sosilis. Tujuan kelompok FDR adalah menuntut pembubaran kabinet Hatta. FDR menyerang kebijakan kabinet Hatta terkait kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi angkatan perang. Tujuan yang kedua melakukan tindakan pemogokan umum agar kondisi politik pemerintahan menjadi tidak stabil.
Kedatangannya Muso pada tanggal 11 Agustus 1948 disambut gembira oleh ketua umum FDR. Kembalinya Muso dari Moskow membawa misi yang besar yaitu ingin mendirikan negara Republik Indonesia Soviet yang berhaluan kiri. Dalam siding Politbiro PKI pada 13-14 Agustus 1948, ia menawarkan resolusi yang dikenal dengan sebutan “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Dia menginginkan agar dibentuknya kerjasama yang dipimpin oleh kaum sosialis dan komunis untuk menentang politik penjajahan. Oleh sebab itu Organisasi sosialis dan Komunis melebur dalam PKI termasuk di dalamnya adalah FDR. Muso dan Amir mendeklarasikan pimpinan di bawah mereka, Muso dan Amir menggoyahkan kepercayaan masyarakat dengan menghasut dan membuat semua golongan menjadi bermusuhan dan saling mencurigai satu dengan yang lain.
Di samping itu kabinet Hatta yang menggantikan kabinet Amir
Syarifudin dianggap oleh PKI kontroversial dengan kebijakannya mengenai RERA
(Reorganisasi dan Rasionalisasi) angkatan bersenjata. Amir dan Muso
memanfaatkan kebijakan RERA untuk menghasut kelompok militer yang berpandangan
sosialis. Selain menentang kebijakan RERA, beberapa aksi juga dilakukan
kelompok Amir Muso antara lain:
• Melancarkan propaganda anti pemerintah.
• Memprovokasi para buruh untuk melakukan mogok kerja
• Melakukan pembunuhan-pembunuhan khusunya di Madiun
Selain ingin menjatuhkan kabinet Hatta strategi lain yang dipakai oleh FDR dalam peristiwa pemberontakan PKI Madiun adalah dengan cara melakukan pemogokan umum dan mnciptakan berbagai kekacauan lainnya untuk menghilangkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Untuk memperkuat wilayah yang telah di pimpin oleh FDR, mereka menarik pasukan pro-FDR dari medan tempur. Untuk mengalihkan perhatian dan untuk menghadang TNI, FDR menjadikan Madiun sebagai basis pemerintahan dan Surakarta dinjadikan sebagai daerah kacau.
Muso dan Amir berkeliling ke beberapa kota di Jawa Tengah
dan Jawa Timur untuk mempropagandakan PKI beserta programnya yang bertujuan
untuk menjatuhkan wibawa pemerintah. Sambil menjelek-jelekan pemerintah,
sementara itu PKI mempertajam persaingan anatara pasukan TNI yang pro-PKI dan
yang pro pemerintah. Pemberontakan PKI Madiun (Madiun Affair) di picu karena
adanya persaingan pasukan TNI yang pro-PKI dan yang propemerintah.
Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya diplomasi
dengan Muso, bahkan sampai mengikutsertakan tokoh-tokoh kiri yang lain, yaitu
Tan Malaka. Namun, kondisi politik sudah terlampau panas, sehingga pada
pertengahan September 1948, pertempuran antara kekuatan-kekuatan bersenjata
yang memihak PKI dengan TNI mulai meletus. PKI dan kelompok pendukungnya
kemudian memusatkan diri di Madiun. Muso pun kemudian pada tanggal 18 September
1948 memproklamirkan Republik Soviet Indonesia. Pada awal pemberontaknnya PKI
membantai rakyat dan tentara dan kaum santriyang masih setia kepada pancasila.
Melihat sepak terjang PKI yang sangat membahayakan bagi
NKRI, Presisen Seokarno melalui siarannya di RRI Yogyakarta menyampaikan pesan
kepada masyarakat Indonesia betapa sangat berbahayanya PKI Muso bagi keutuhan
bangsa Indonesia. PKI Muso mempunyai tujuan untuk untuk merampat kedaulatan
Indonesia yang berasaskan Pancasila menggantinya dengan negara komunis.
Kepada Jendral Soedirman, Presiden Soekarno memberikan
mandatnya untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Soedirman segera
menugaskan kolonel Nasution dan letkol Soeharto untuk bergerak. TNI berhasil
melucuti persenjataan FDR Yogyakarta dan menangkap para tokoh militan PKI
seperti Alimin, Djoko Sudjono dan Siauw Giok Tjan. Semua penerbitan yang
berafiliasi PKI turut diberangus, percetakan disegel, poster-poster dan
sapanduk-spanduk dibersihkan dan diganti dengan posterposter bertuliskan “kami
hanya mengakui pemerintah Soekarno-Hatta”.
Setelah Madiun berhasil direbut TNI, Musso dan pengawalnya
melarikan diri kearah ponorogo, sementara TNI melakukan pengejaran terhadapnya.
Dalam kejar-kejaran terjadi saling tembak hingga kuda delman tertembak. Musso
berlari dan bersembunyi disebuah kamar mandi di sebuah pemandian umum. Satu
peleton tentara mengepung dan kembali terjadi baku tembak. Ketika keluar kamar
mandi, Musso tertembak dua kali.
Sementara itu Amir Syarifudin telah diketahui bertahan di
hutan jati dipegunungan sekitar Klambu. Akibat pengepungan yang rapat ini,
ditambah dengan bantuan alam yang berupa hujan hampir setiap hari, Amir
Syarifudin dapat ditangkap untuk kemudian dibawa ke solo untuk mepertanggungjawabkan
segela perbuatannya di meja hijau.
2. Pemberontakan
PKI 1965 / G.30S PKI
Terlepas dari ke 5 teori tentang peristiwa berdarah G 30 S
PKI yang terjadi di Indonesia. Sepak terjang PKI masih begitu terasa memilukan
dan merupakan perjalanan sejarah yang kelam bagi perjalanan politik Indonesia
pada awal kemerdekaan.Peristiwa G30S/PKI atau biasa disebut dengan Gerakan 30
September merupakan salah satu peristiwa pemberontakan komunis yang terjadi
pada bulan September sesudah beberapa tahun Indonesia merdeka. Peristiwa G30S
PKI terjadi di malam hari tepatnya pada tanggal 30 September tahun 1965. Dalam
sebuah kudeta, setidaknya ada 7 perwira tinggi militer yang terbunuh dalam
peristiwa tersebut.
Lulus dari akademi militer pada tahun 1961 dengan pangkat letnan dua, Tendean menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan. Setahun kemudian, ia mengikuti pendidikan di sekolah intelijen di Bogor. Setamat dari sana, ia ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia, bertugas memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Malaysia. Pada tanggal 15 April 1965, Tendean dipromosikan menjadi letnan satu, dan ditugaskan sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution.
Saat itu tanggal 1 Oktober dini hari pukul 03.30 WIB, di Ruang tamu, Lettu Piere sedang beristirahat, tanggal 30 September keamrin seharusnya dia pulang ke Semarang untuk merayakan ulang tahun ibunya, tapi karena tugasnya sebagai pengawal jendral AH. Nasution, ia harus menundanya. Di saat beristirahat inilah dia mendengar keributan, sebagai seorang pengawal, iapun bergegas mencari sumber keributan tersebut. Piere kaget karena penyebabnya adalah pasukan Cakrabirawa, meraka lantas mengepung dan menodongkan senjata. Piere tak berkutik. Melihat hal yang tak beres demi melindungi atasannya, Piere mengaku jika dirianya adalah Jendral Nasution yang dicari pasukan Cakrabirawa. “Saya jendreal Nasutiom” serunya kepada pasukan cakrabirawa. Pasukan Cakrabirawapun langsung membawanya ke lubang buaya untuk disiksa dan akhirnya dibunuh dengan cara yang keji.
Tembakan dari pasukan cakrabirawa seketika melesat, masuk ke tangan Adik Ipar Johana ibu Ade Irma Suryani Nasution, lalu menembus punggung gadis kecil Ade. Darah membasahi tubuh si mungil yang tak berdosa itu hingga menggenang ke lantai. Ade Irma sempat bwa ke RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) untuk diberikan pertolongan. Ade irma sempat bertanya ke pada mamanya “kenapa Ayah mau dibunuh, mama? Ade Irma Suryani, Akhirnya mengembuskan tanggal 6 Oktober 1965. Di depan nisan anaknya AH nasution menuliska kata-kata “Anak saya yang tercinta, engkau telah mendahului gugur sebagai perisai ayahmu”.
Lalu siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap tragedi
berdarah ini?. Dipa Nusantara Aidit merupakan salah seorang dalam kebinet
Dwikora, sekaligus ketua Central Committee (CC) Partai Komunis Indonesia.
Dialah yang dianggap oleh pemerintah Orde baru, bertanggung jawab atas gerakan
30 September 1965 (G 30 S PKI). Pada tahun 1965 PKI kembali berhasil menjadi
partai besar no 4 di Indonesia sebelum terjadinya peristiwa di Lubang Buaya.
Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sejak itu
pula presiden Soekarno mengenalkan “Demokrasi Terpimpin”. Demokrasi Terpimpin
oleh satu orang yaitu presiden Sekarno. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin”
Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan
Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Sejak Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai, Indonesia memang diwarnai
dengan figur Soekarno yang menampilkan dirinya sebagai penguasa tunggal di
Indonesia. Soekarno juga menjadi kekuatan penengah antara kelompok politik
besar yang saling mencurigai
Usul pembentukan angkatan ke 5 selain AD-AU-AL-Polisi yang
dikemukakan oelh PKI pada Januari 1965, diakui memang semakin memperkeruh
suasana terutama dalam hubungan antara PKI dan AD. Tentara telah membayangkan
bagaimana 21 juta petani dan buruh bersenjata, bebeas dari pengawasan mereka.
Bagi para petinggi militer ggasan ini bisa berarti pungkuhan aksi politik yang
matang, bermuara pada dominasi PKI yang hendak mendirikan pemerinahan komunis
yang pro RRC (Republik Rakyat Cina) yang komunis di Indonesia. Usulan ini
akhirnya memang gagal direalisasikan. Oleh karena itu akhirnya PKI meniupkan
isu dewan jendral ditubuh AD yang tengah mempersiapkan suatu kudeta. Dan PKI memperkuat aksi fitnah dengan menyodorkan “dokumen
Gilchrist”
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak
merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan
besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa
petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara =
milik bersama).
Tepatnya tanggal 1 Oktober dini hari pasukan Cakrabirawa
dibawah pimpinan letnan kolonel Untung secara memualai aksinya dengan target
melakukan aksi penculikan terhadap 7 jendral. Pasukan Cakrabirawa bergerak dari
lapangan udara menuju Jakarta daerah selatan. Tujuh jenderal tersebut adalah
Ahmad Yani. MT Haryono D.I Panjaitan yang langsung dibunuh dirumah
masing-masing, sementara Soeprapto, S.Parman dan Sutoyo ditangkap hidup-hidup
kemudian disiksa dan dibunuh oleh PKI, Satu target PKI lolos dan mampu
melarikan diri ketika segerombolan pasukan Cakrabirawa mengepung rumahnya, dia
melompat pagar rumah dubes Irak yang bersebelahan rumah. Jenazah para korban
lalu dimasukkan ke dalam sumur tua didaerah lubang buaya.
Jam 7 pagi, Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan
sebuah pesan yang berasal dari Untung Syamsuri, Komandan Cakrabiwa bahwa G30S
PKI telah berhasil diambil alih di beberapa lokasi stratergis Jakarta beserta
anggota militer lainnya. Mereka bersikeras bahwa gerakan tersebut sebenarnya
didukung oleh CIA yang bertujuan untuk melengserkan Soekarno dari posisinya.
Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai sejak tanggal 1 Oktober
1965 sore hari. Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi dapat direbut
kembali tanpa pertumpahan darah oleh satuan RPKAD di bawah pimpinan Kolonel
Sarwo Edhi Wibowo, pasukan Para Kujang/328 Siliwangi, dan dibantu pasukan
kavaleri. Setelah diketahui bahwa basis G 30 S/PKI berada di sekitar Halim
Perdana Kusuma, sasaran diarahkan ke sana. Pada tanggal 2 Oktober, Halim
Perdana Kusuma diserang oleh satuan RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo Edhi
Wibowo atas perintah Mayjen Soeharto. Pada pikul 12.00 siang, seluruh tempat
itu telah berhasil dikuasai oleh TNI – AD.
Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD yang dipimpin oleh Mayor C.I Santoso berhasil menguasai daerah Lubang Buaya. Setelah usaha pencarian perwira TNI – AD dipergiat dan atas petunjuk Kopral Satu Polisi Sukirman yang menjadi tawanan G 30 S/PKI, tetapi berhasil melarikan diri didapat keterangan bahwa para perwira TNI – AD tersebut dibawah ke Lubang Buaya. Karena daerah terebut diselidiki secara intensif, akhirnya pada tanggal 3 Oktober 1965 titemukan tempat para perwira yang diculik dan dibunuh tersebut.. Mayat para perwira itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang bergaris tengah ¾ meter dengan kedalaman kira – kira 12 meter, yang kemudian dikenal dengan nama Sumur Lubang Buaya.
Pada tanggal 4 Oktober, penggalian Sumur Lubang Buaya dilanjutkan kembali (karena ditunda pada tanggal 13 Oktober pukul 17.00 WIB hingga keesokan hari) yang diteruskan oleh pasukan Para Amfibi KKO – AL dengan disaksikan pimpinan sementara TNI – AD Mayjen Soeharto. Jenazah para perwira setelah dapat diangkat dari sumur tua tersebut terlihat adanya kerusakan fisik yang sedemikian rupa. Hal inilah yang menjadi saksi bisu bagi bangsa Indonesia betapa kejamnya siksaan yang mereka alami sebelum wafat.
Pada tanggal 5 Oktober, jenazah para perwira TNI – AD
tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata yang sebelumnya
disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. Pada tanggal 6 Oktober, dengan
surat keputusan pemerintah yang diambil dalam Sidang Kabinet Dwikora, para
perwira TNI – AD tersebut ditetapakan sebagai Pahlawan Revolusi.
ANCAMAN
DISINTEGRASI : DARUL ISLAM/TENTARA ISLAM INDONESIA
1.
DI/TII Jawa Barat
Salah satu peristiwa penting yang meninggalkan bekas dalam
catatan sejarah negeri ini adalah berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di
awal masa kemerdekaan. Topik ini memang selalu dan akan tetap menarik untuk
diperbincangkan, lengkap dengan segala pendapat para ahli maupun saksi-saksi
sejarah. Yuk kita baca bagimana Fakta yang terjadi tentang Darul Islam
Indonesia.
Nama Kartosuwiryo, tentu tak lagi menjadi nama yang asing
bagi kita, karena dialah pendiri negara berasas Islam tersebut. Negara Islam
Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang
artinya adalah “Rumah Islam” adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7
Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar,
Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Diproklamirkan saat Negara
Pasundan buatan belanda mengangkat Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai
presiden.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang
saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa perang
dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam
sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa “Hukum yang berlaku dalam
Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam”, lebih jelas lagi dalam
undang-undangnya dinyatakan bahwa “Negara berdasarkan Islam” dan “Hukum yang
tertinggi adalah Al Quran dan Hadits”.
Salah satu keputusan Renville adalah harus pindahnya pasukan RI dari daerahdaerah yang diklaim dan diduduki Belanda ke daerah yang dikuasai RI. Di Jawa Barat, Divisi Siliwangi sebagai pasukan resmi RI pun dipindahkan ke Jawa Tengah karena Jawa Barat dijadikan negara bagian Pasundan oleh Belanda. Akan tetapi lascar bersenjata Hizbullah dan Sabilillah yang telah berada di bawah pengaruh Kartosuwiryo tidak bersedia pindah dan malah membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Vakum
(kosong)-nya kekuasaan RI di Jawa Barat segera dimanfaatkan Kartosuwiryo. Meski awalnya ia memimpin perjuangan melawan Belanda dalam rangka menunjang perjuangan RI. Namun, akhirnya perjuangan tersebut beralih menjadi perjuangan untuk merealisasikan cita-citanya. Persoalan timbul ketika pasukan Siliwangi Kembali balik ke Jawa Barat. Kartosuwiryo tidak mau mengakui tentara RI tersebut kecuali mereka mau bergabung dengan DI/TI.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya seperti melakukan
pendekatan musyawarah yang di lakukan M.Natsir. Namun pendekatan musyawarah
tersebut tidak membawa hasil sehingga pemerintah RI terpaksa mengambil tindakan
tegas dengan menerapkan operasi militer yang di sebut Operasi Pagar Betis dan
Operasi Baratayudha untuk menumpas gerakan DI/TII. Operasi Pagar Betis
dilakukan dengan melibatkan rakyat untuk mengepung tempat persembunyian
gerombolan DI/TII. Disisi lain, operasi
Barathayudha
juga dilaksanakan TNI untuk menyerang basis-basis kekuatan gerombolan
DI/TII.Dan dijalankanlah taktik dan strategi baru yang disebut Perang Wilayah.
Pada tahun 1 April 1962 pasukan Siliwangi bersama rakyat melakukan operasi “Pagar
Betis (mengepung pasukan DI/TII dengan mengepung dari seluruh penjuru)” dan operasi
“Bratayudha (operasi penumpasan gerakan DI/TII kartosuwirjo). Pada tanggal 4 juni
1962, S.M.Kartosuwiryo beserta para pengikutnya berhasil ditanggap oleh pasukan
Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan
kartosoewiryo sempat mengajukan grasi kepada Presiden, tetapi di tolak.
Akhirnya S.M.Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati di hadapan regu tembak dari
keempat angkatan bersenjata RI 16 Agustus 1962.
2.
DI/TII Jawa Tengah
Fatah lengkapnya Amir Fatah adalah komandan Laskar Hizbullah di daerah Tulangan, Siduardjo, dan Mojokerto di Jawa Timur pada pertempuran 10 November 1945. Setelah perang kemerdekaan ia meninggalkan Jawa Timur dan bergabung dengan pasukan TNI di Tegal. Setelah bergabung dengan Kartosuwiryo, Amir Fatah kemudian diangkat sebagai komandan pertemburan Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia. Untuk menghancurkan gerakan ini, Januari 1950 dibentuk Komando Gerakan Banteng Negara (GBN) dibawah Letkol Sarbini.
Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh “orang-orang Kiri”, dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh “orang-orang Kiri” tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan MI yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus disebahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Untuk mencegah DI Amir Fatah agar tidak meluas ke daerah daerah lain di Jawa Tengah, maka diperlukan perhatian khusus. Kemudian Panglima Divisi III Kolonel Gatot Subroto mengeluarkan siasat yang bertujuan memisahkan DI Amir Fatah dengan DI Kartosuwiryo, menghancurkan sama sekali kekuatan bersenjatanya dan membersihkan sel sel DI dan pimpinannya. Dengan dasar instruksi siasat itu maka terbentuklah Komando Operasi Gerakan Banteng Nasional (GBN). Daerah Operasi disebut daerah GBN.
Pimpinan Operasi GBN yang pertama Letkol Sarbini, kemudian
diganti oleh Letkkol M. Bachrun dan terakhir Letkokl A. Yani. Dalam kemimpinan
Letkol A. Yani untuk menumpas Di Jawa Tengah dan gerakan ke timur dari DI
Kartosuwiryo yang gerakannya meningkat dengan melakukan teror terhadap rakyat,
maka dibentuk pasukannya yang disebut Banteng Raiders. Kemudian diadakan
perubahan Gerakan Banteng dari defensif menjadi ofensif. Gerakan menyerang
musuh dilanjutkan dengan fase pembersihan. Dengan demikian tidak memberi
kesempatan kepada musuh untuk menetap dan konsolidasi di suatu tempat. Operasi
tersebut telah berhasil membendung dan menghancurkan exspansi DI ke timur,
sehingga rakyat Jawa tengah tertindar dari bahaya kekacauan dan gangguan
keamanan dari DI.
3.
DI/TII Kalimantan Selatan
Timbulnya pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan ini
sesungguhnya bisa ditelusuri hingga tahun 1948 saat Angkatan Laut Republik
Indonesia (ALRI) Divisi IV, sebagai pasukan utama Indonesia dalam menghadapi
Belanda di Kalimantan Selatan, telah tumbuh menjadi tentara yang kuat dan
berpengaruh di wilayah tersebut. Namun ketika penataan ketentaraan mulai
dilakukan di Kalimantan Selatan oleh pemerintah pusat di Jawa, tidak sedikit
anggota ALRI Divisi IV yang merasa kecewa karena diantara mereka ada yang harus
didemobilisasi atau mendapatkan posisi yang tidak sesuai dengan keinginan
mereka.
Suasana mulai resah dan keamanan di Kalimantan Selatan mulai terganggu. Penangkapan-penangkapan terhadap mantan anggota ALRI Divisi IV terjadi. Salah satu alasannya adalah karena diantara mereka ada yang mencoba menghasut mantan anggota ALRI yang lain untuk memberontak. Diantara para pembelot mantan anggota ALRI Divisi IV adalah Letnan Dua Ibnu Hajar. Dikenal sebagai figur berwatak keras, dengan cepat ia berhasil mengumpulkan pengikut, terutama di kalangan anggota ALRI Divisi IV yang kecewa terhadap pemerintah. Ibnu Hajar bahkan menamai pasukan barunya sebagai Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT). Kerusuhan segera saja terjadi. Berbagai penyelesaian damai coba dilakukan pemerintah, namun upaya ini terus mengalami kegagalan. Pemberontakan pun pecah. Akhir tahun 1954, Ibnu Hajar memilih untuk bergabung dengan pemerintahan DI/TII Kartosuwiryo, yang enawarkan kepadanya jabatan dalam pemerintahan DI/TII sekaligus Panglima TII Kalimantan. Konflik dengan tentara Republik pun tetap terus berlangsung bertahun-tahun. Baru pada tahun 1963, Ibnu Hajar menyerah. Ia berharap mendapat pengampunan. Namun pengadilan militer menjatuhinya hukuman mati.
4.
DI/TII Aceh
Penurunan status Aceh dari daerah istmewa menajdi satu provinsi bagian dari provinsi sumatera utara hal tersebut otomatis akan menurunkan jabatan Daud beureuh sebagai Gubernur Militer. Tak puas dengan keputusan pemerintah pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan “Proklamasi” Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian “Negara Islam Indonesia” di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal 20 September1953. Sebagai Gubernur Militer ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur Militer, Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Daud Beureuh juga berhasil memengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikutpengikutnya dapat mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota. Upaya pemerintah dilakukan melalui jalan kooperatif antara lain dengan membuka dialog antara M Hatta dengan kelompok daud Beureuh dan selanjutnya ditindaklanjtuo dengan menyelenggarakan kerukunan Rakyat Aceh pada tanggl 17-28 Desember 1962 Hasil keputusan dalam musyawarah tersebut dituangkan dalam Keputusan Perdana Menteri RI No.1/ Misi/ 1959 tanggal 26 Mei 1959. Kemudian, dilanjutkan dengan keputusan penguasa perang tanggal 7 April 1962, No.KPTS/ PEPERDA-061/ 3/ 1962 tentang pelaksanaan ajaran Islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh. Dan juga pemberian amnesti kepada Daud Beureuh dengan catatan apabila Daud Beureuh bersedia untuk menyerahkan diri dan kembali pada masyarakat Aceh.
5.
DI/TII Sulawesi Selatan
Dibawah pimpinan Letnan Kolonel Kahar Muzakkar dengan dilatar belakangi ketidakpuasan para bekas pejuang gerilya kemerdekaan terhadap kebijakan pemerintah dalam membentuk Tentara Republik dan demobilisasi yang dilakukan di Sulawesi Selatan. Namun beberapa tahun kemudian pemberontakan malah beralih dengan bergabungnya mereka ke dalam DI/TII Kartosuwiryo. Tokoh Kahar Muzakkar sendiri pada masa perang kemerdekaan pernah berjuang di Jawa bahkan menjadi komandan Komando Grup Sulawesi Selatan yang bermarkas di Yogyakarta.
Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949 ia lalu ditugaskan
ke daerah asalnya untuk membantu menyelesaikan persoalan tentang Komando
Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) di sana. KGSS dibentuk sewaktu perang
kemerdekaan dan berkekuatan 16 batalyon atau satu divisi. Pemerintah ingin agar
kesatuan ini dibubarkan lebih dahulu untuk kemudian dilakukan re-organisasi
tentara kembali. Semua itu dalam rangka penataan ketentaraan. Namun anggota
KGSS menolaknya. Begitu tiba, Kahar Muzakkar diangkat oleh Panglima Tentara
Indonesia Timur menjadi koordinator KGSS, agar mudah menyelesaikan persoalan.
Namun Kahar Muzakkar malah menuntut kepada Panglimanya agar KGSS bukan dibubarkan,
melainkan minta agar seluruh anggota KGSS dijadikan tantara dengan nama Brigade
Hasanuddin.
Tuntutan ini langsung ditolak karena pemerintah
berkebijakan hanya akan menerima anggota KGSS yang memenuhi syarat sebagai
tentara dan lulus seleksi. Kahar Muzakkar tidak menerima kebijakan ini dan
memilih berontak diikuti oleh pasukan pengikutnya. Selama masa pemberontakan,
Kahar Muzakkar pada tanggal 7 Agustus 1953 menyatakan diri sebagai bagian dari
Negara Islam Indonesia Kartosuwiryo. Pemberontakan yang dilakukan Kahar memang
memerlukan waktu lama untuk menumpasnya. Pemberontakan baru berakhir pada tahun
1965. Di tahun itu, Kahar Muzakkar tewas tertembak dalam suatu penyergapan.
Pemberontakan yang berkait dengan DI/TII juga terjadi di Kalimantan Selatan.
PEMBERONTAKAN
APRA, ANDI AZIS, RMS, PRRI DAN PERSMESTA
1.
APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)
Jadi peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh APRA ini
meletus pada 23 Januari 1950 di Bandung. Pada saat itu APRA melakukan serangan
dan menduduki Kota Bandung. Latar belakang pemberontakan APRA ini dipicu oleh
adanya friksi dalam tubuh Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).
Friksi yang terjadi itu antara tentara pendukung unitaris (TNI) dengan tentara
pendukung federalis (KNIL/KL).
Perlu Kalian ketahui, pemberontakan APRA ini menjadi
tragedi politik dan ideologis nasional, tepatnya di masa perjuangan Republik
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. APRA sendiri dipimpin oleh Raymond
Westerling dan memiliki 800 serdadu bekas KNIL. APRA memanfaatkan kepercayaan
masyarakat Indonesia akan datangnya pemimpin yang adil seperti yang dituliskan
dalam kitab Jangka Jayabaya tentang datangang “Sang Ratu Adil” dan
Westerlingpun menamai gerakan ini dengan Angkatan perang Ratu Adil”
Pemberontakan ini diawali weterling dengan memberikan
Ultimatum kepada pemerintah RIS agar kekuasaan militer negara pasundan
diberikan kepada KNIL. Pada tanggal 23 januari 1950 APRA melakukan serangan
terhadap kota bandung dengan pasukan sejumlah 800 dari unsur KNIL dan berhasil
memasuki kota dan menguasai markas divisi Siliwangi. APRA membunuh setiap TNI
yang mereka jumpai di kota bandung.
Gerakan yang dipimpin oleh Raymond Westerling ini berhasil
mengusai markas Staf Divisi Siliwangi, sekaligus membunuh ratusan prajurit
Divisi Siliwangi. Pada Januari 1950, Presiden RIS Sukarno menunjuk Hamid
sebagai menteri negara tanpa portofolio sekaligus koordinator tim perumusan
lambang negara. Dalam sidang kabinet, 10 Januari 1950, Hamid membentuk Panitia
Lencana Negara. Kemudian diadakanlah sayembara pembuatan lambang negara. Dan
dialah yang mendisain Gurung garuda dan lambanglambangnya. Namun Hamid menjalin
mufakat dengan Westerling karena ingin mempertahankan negara federal dan kecewa
dengan jabantanya yang hanya sebagai mentri tanpa portofolio. Dalam pledoinya,
Hamid mengakui telah memberi perintah kepada Westerling dan Inspektur Polisi
Frans Najoan untuk menyerang sidang Dewan Menteri RIS pada 24 Januari 1950.
Dalam penyerbuan itu, Hamid juga memerintahkan agar semua menteri ditangkap,
sedangkan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, Sekretaris Jenderal Ali
Budiardjo dan Kepala Staf Angkatan Perang PRIS (APRIS) Kolonel TB Simatupang
harus ditembak mati. Perundingan yang diadakan oleh Drs. Moh. Hatta dengan
Komisaris Tinggi Belanda, akhirnya Mayor Jenderal Engels yang merupakan
Komandan Tinggi Belanda di Bandung, mendesak Westerling untuk meninggalkan Kota
Bandung. Berkat hal itu, APRA pun berhasil dilumpuhkan oleh pasukan APRIS.
2.
Andi Aziz
Seperti halnya pemberontakan APRA di Bandung, peristiwa
Andi Aziz berawal dari tuntutan Kapten Andi Aziz dan pasukannya yang berasal
dari KNIL (pasukan Belanda di Indonesia) terhadap pemerintah Indonesia agar
hanya mereka yang dijadikan pasukan APRIS di Negara Indonesia Timur (NIT).
Ketika akhirnya tentaraIndonesia benar-benar didatangkan ke Sulawesi Selatan
dengan tujuan memelihara keamanan, hal ini menyulut ketidakpuasan di kalangan
pasukan Andi Aziz. Ada kekhawatiran dari kalangan tentara KNIL bahwa mereka
akan diperlakukan secara diskriminatif oleh pimpinan APRIS/TNI.
Pasukan KNIL di bawah pimpinan Andi Aziz ini kemudian
bereaksi dengan menduduki beberapa tempat penting, bahkan menawan Panglima
Teritorium (wilayah) Indonesia Timur, Pemerintahpun bertindak tegas dengan
mengirimkan pasukan dibawah impinan Kolonel Alex Kawilarang. April 1950,
pemerintah memerintahkan Andi Aziz agar melapor ke Jakarta akibat peristiwa
tersebut, dan menarik pasukannya dari tempat-tempat yang telah diduduki,
menyerahkan senjata serta membebaskan tawanan yang telah mereka tangkap.
Tenggat waktu melapor adalah 4 x 24 jam. Namun Andi Aziz
ternyata terlambat melapor, sementara pasukannya telah berontak. Andi Aziz pun
segera ditangkap di Jakarta setibanya ia ke sana dari Makasar. Ia juga kemudian
engakui bahwa aksi yang dilakukannya berawal dari rasa tidak puas terhadap
APRIS. Pasukannya yang memberontak akhirnya berhasil ditumpas oleh tentara
Indonesia di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang.
3. RMS
Didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia, menimbulkan
respon dari masyarakat Maluku Selatan saat itu. Seorang mantan jaksa agung
Negara Indonesia Timur, Mr. Dr. Christian Robert Soumokil, memproklamirkan
berdirinya Republik Maluku Selatan pada tanggal 25 April 1950. Hal ini
merupakan bentuk penolakan atas didirikannya NKRI, Soumokil tidak setuju dengan
penggabungan daerah-daerah Negara Indonesia Timur ke dalam wilayah kekuasaan
Republik Indonesia. Dengan mendirikan Republik Maluku Selatan, Ia mencoba untuk
melepas wilayah Maluku Tengah dan NIT dari Republik Indonesia Serikat.
Berdirinya Republik Maluku Selatan ini langsung menimbulkan
respon pemerintah yang merasa kehadiran RMS bisa jadi ancaman bagi keutuhan
Republik Indoensia Serikat. Maka dari itu, pemerintah langsung ambil beberapa
keputusan untuk langkah selanjutnya. Tindakan pemerintah yang pertama dilakukan
adalah dengan menempuh jalan damai. Dr. J. Leimena dikirim oleh Pemerintah
untuk menyampaikan permintaan berdamai kepada RMS, tentunya membujuk agar tetap
bergabung dengan NKRI. Tetapi, langkah pemerintah tersebut ditolak oleh
Soumokil, justru ia malah meminta bantuan, perhatian, juga pengakuan dari
negara lain lho, terutama dari Belanda, Amerika Serikat, dan komisi PBB untuk
Indonesia.
4.
PRRI/Permesta
Munculnya pemberontakan PRRI dan Permesta bermula dari adanya persoalan didalam tubuh Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas minimnya kesejahteraan tantara di Sumatera dan Sulawesi. Hal ini mendorong beberapa tokoh militer untuk menentang Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Persoalan kemudian ternyata malah meluas pada tuntutan otonomi daerah. Ada ketidakadilan yang dirasakan beberapa tokoh militerdan sipil di daerah terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah sebagai alat perjuangan tuntutan pada Desember 1956 dan Februari 1957, seperti :
a. Dewan
Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
b. Dewan Gajah
di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
c. Dewan
Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
d. Dewan
Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Beberapa tokoh sipil dari pusatpun mendukung mereka bahkan bergabung ke dalamnya, seperti Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir. KSAD Abdul Haris Nasution dan PM Juanda sebenarnya berusaha mengatasi krisis ini dengan jalan musyawarah, namun gagal
No comments:
Post a Comment