Gambar: Dokumen Pribadi
1. Pendahuluan
Penelitian
terhadap periode awal pengaruh Hindu-Buddha di Nusantara sejauh ini belumlah
mendapat perhatian yang memadai padahal pada periode tersebut merupakan periode
yang yang cukup penting dalam perkembangan sejarah Indonesia Kuno. Dianggap
penting karena pada masa itu kontak awal antara masyarakat Nusantara dengan
masyarakat luar semakin intensif. Kontak awal ini kemudian berlanjut dengan
berkembangnya pengaruh India ke Nusantara. Kontak awal yang diperkirakan
terjadi pada awal abad Masehi ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan
maritim. Jaringan perdagangan regional di Asia Tenggara, beberapa dari mereka
telah terlibat dalam perdagangan jarak jauh sebelum pengaruh India atau Cina di
awal milenium pertama. Beberapa temuan nekara dan kapak Dongson adalah bukti
adanya jaringan perdagangan jarak jauh tersebut (Manguin 1996: 255). Bahkan
jika diamati maka himpunan tinggalan arkeologis dari budaya Dongson (Vietnam
Utara) sangat penting karena benda logam paling awal yang ditemukan di
Kepulauan Nusantara pada umumnya bercorak Dongson, bukan diilhami oleh benda
logam dari India atau Cina (Bellwood 2000: 389).
Dapat
dikatakan bahwa Nusantara pada sekitar awal milenium pertama yang menunjukkan
perkembangan kebudayaan paleometalik dengan ciri-ciri utamanya antara lain
berkembangnya teknologi pembuatan benda benda logam (perunggu dan besi),
kehidupan yang menetap, mengembangkan pertanian
persawahan, dan mengembangkan sistem kepercayaan pemujaan roh nenek
moyang.
Dengan
bukti-bukti tersebut dapat diperkirakan masyarakat Nusantara pada masa itu
sudah dalam tingkatan kebudayaan yang cukup tinggi. J.L. Brandes menyebutkan
bahwa masyarakat Nusantara sebelum kedatangan pengaruh India telah mempunyai 10
butir aspek kebudayaan yang merupakan kepandaian asli masyarakat Nusantara,
yaitu wayang (permainan dengan silhouet dan boneka), gamelan, batik, pengerjaan
logam, astronomi, pelayaran, irigasi, mata uang, metrum (irama), dan
pemerintahan yang teratur (Suleiman 1986: 159-160).
Berdasarkan pendapat Brandes tersebut bukan hal yang mengherankan jika masyarakat Nusantara waktu itu sudah aktif dalam perdagangan maritim internasional antara India-Cina karena mampu melakukan pelayaran (dengan perahu bercadik) di samudera dan memanfaatkan ilmu astronomi yang mereka kuasai.
Sumber-sumber kesusasteraan asing
yang menyebut wilayah Nusantara tidak begitu banyak. Meskipun India memberikan
kontribusi besar dalam pengenalan tulisan kepada masyarakat Nusantara, namun
India tidak mempunyai catatan-catatan tentang
Nusantara maupun kegiatan-kegiatan yang terjadi antara dua wilayah tersebut.
Tetapi ada karya-karya sastra yang menyebut nama-nama tempat yang diperkirakan
berada di wilayah Nusantara. Kitab Milindapanha yang ditulis sekitar abad ke-1
S. M. dan Mahaniddesa yang ditulis antara abad ke-3 M. menyebutkan nama
pulauseperti Sumatera (Suvarṇ nabhumi), Bangka (Wangka), dan Jawa (Damais
1995:85). Selain itu, catatan Cina awal juga menyebutkan sejumlah kerajaan awal
yang memiliki hubungan dengan jalur perdagangan melalui Selat Malaka seperti Poli,
Koying, Kantoli, P’u-lei, P’ota, P’o-huang, P’en-p’en, Tan-tan, dan Holotan
yang berada di antara kerajaan-kerajaan awal yang diperkirakan telah muncul di
berbagai lokasi di Kepulauan Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera (Read
2008:78). Ko-ying adalah kerajaan awal yang Muncul sekitarAbadyangke-3
yangkemudianposisinya digantikan oleh Ho-lo-tan sebelum kemunculan Kan-to-li
(441-563 M.). Kan-to-li inilah yang disebutkan oleh Wolters sebagai kerajaan
dagang terpenting sebelum munculnya Śrīwijaya (Read 2008:78). Keterbatasan
sumber-sumber tertulis dan data arkeologi,
bagaimanapun, lokasi sejumlah kerajaan awal termasuk dari Ko-ying, masih
diperdebatkan.
Memasuki
awal mileniun pertama, perdagangan antar wilayah antara Cina dan India yang
menggunakan rute maritim melalui Selat Malaka menunjukkan aktivitas yang
meningkat mengakibatkan munculnya “entrepot” di Asia Tenggara. Salah satu
pelabuhan yang terkenal besar dan lebih selama periode ini adalah Oc-eo, di
Funan. Lokasi Funan secara strategis ditempatkan di antara Bassac dan Teluk
Siam yang memungkinkan untuk berkembang menjadi pusat komersial penting.
Setidaknya abad ke-3 M., penguasa Funan mengirim utusan ke India dan Cina.
Kontak dagang dibangun membentang dari Cina ke Roma (Groslier 2002:79). Pada
awalnya Cina tidak berminat berdagang dengan daerah- daerah Asia Tenggara yang
oleh raja-raja Cina dianggap belum beradab karena terletak jauh dari pusat
peradaban Cina (Poesponegoro dan Notosusanto 1984:12). Semula Cina berdagang
dengan daerah Asia Barat melalui Asia Tengah dalam jalur perdagangan darat.
Tetapi ketika para bangsawan Cina Utara mendirikan dinasti-dinasti di Cina
Selatan, mulailah mereka mengembangkan perdagangan maritim dari Asia Barat ke
selatan melalui Kepulauan Nusantara. Cina pada mulanya mengembangkan
perdagangan dengan Funan, bukan karena berminat pada hasil bumi Funan tetapi
karena Funan menghubungkan Cina dengan Asia Barat (Wolters 2011:24-26).
Diperkirakan hubungan pelayaran langsung antara Cina dan Kepulauan Nusantara
tidak saja sebagai bagian hubungan pelayaran Cina-Asia Barat tetapi juga
merupakan hubungan tersendiri antara Nusantara - Cina (Poesponegoro dan
Notosusanto 1984: 15). Berdasarkan Berita Cina diperkirakan hubungan langsung
ini sudah terjadi pada awal abad ke-5 M.
Ada
beberapa penyebab untuk meningkatkan perdagangan antar kawasan melalui lautan
di wilayah Asia Tenggara, antara lain peningkatan permintaan untuk barang-
barang eksotis seperti rempah-rempah termasuk cengkeh dan kayu manis dan
aromatik seperti cendana selama abad pertama telah mendorong pedagang India
untuk meningkatkan volume
Perdagangan mereka dengan Asia Tenggara.
Selanjutnya, Cœdès (1968:19) juga berasumsi bahwa latar belakang untuk
pengenalan budaya India ke Kepulauan Indonesia sangat mungkin dalam upaya untuk
mencari emas. ini tidak hanya karena fakta bahwa tambang emas di India tidak
menghasilkan jumlah yang cukup untuk memenuhi permintaan emas India tetapi juga
kehilangan sumberdaya emas di Siberia (Poesponegoro dan Notosusanto 2008:11).
Selain itu, perbaikan substansi terhadap teknologi maritim di kawasan Asia
Tenggara dan pelayaran jarak jauh dengan memakai perahu cadik ganda atau
tunggal sedang berlangsung (Glover 1989:2).
Dari beberapa penelitian
arkeologi, diketahui bahwa sejak akhir masa prasejarah sudah ada kontak antara
masyarakat Nusantara dengan pendatang. Kontak tersebut terutama tentunya
berkenaan dengan perdagangan yang masih menjadi pertanyaan adalah sampai sejauh
mana peran aktif masyarakat Nusantara dalam perdagangan tersebut, baik dalam
perdagangan lokal inter-insuler di Nusantara maupun perdagangan internasional.
Kecuali itu pengenalan akan jenis-jenis komoditi juga dapat memberikan
informasi mengenai pihak- pihak mana saja yang berdagang di Nusantara.
Dengan
demikian maka kajian terhadap masa awal sejarah di Nusantara bertujuan untuk
(1) mengenali kondisi sosial-ekonomi masyarakat Nusantara pada awal masa
sejarah;
(2)
menyusuri jalur-jalur perdagangan internasional yang memberi dampak terhadap
masyarakat Nusantara serta mengenali pula pihak-pihak mana saja yang
berinteraksi di Nusantara; (3) mengenali jenis-jenis komoditi yang
diperdagangkan dan (4) merekonsktrusi kembali kondisi ekologi situs-situs awal
masa sejarah. Diharapkan kajian ini akan dapat memberikan gambaran mengenai keadaan
masyarakat Nusantara pada awal masa sejarah sebelum pada akhirnya benar-benar
mengembangkan corak kebudayaan India yang berlatar-belakang agama Hindu-Buddha.
2. Hasil
Penelitian dan Pembahasan
Beberapa situs yang diidentifikasi sebagai situs dari awal masa
sejarah mempunyai beberapa ciri antara lain, situs-situs tersebut berada di
tepi pantai atau muara sungai karena lokasi tersebut memungkinkan atau
memudahkan mereka mengadakan komunikasi dan interaksi dengan pendatang. Ciri
lainnya adalah adanya temuan artefak yang berasal dari luar Nusantara, atau
adanya kesamaan dengan temuan di luar Nusantara yang dapat dipertanggalkan
secara relatif sebagai artefak dari periode awal sejarah seperti tembikar jenis
rouleted wares yang berasal dari Arikamedu (India Selatan) atau manik-manik
carnelian yang juga berasal dari India atau Asia Tenggara.
Penelitian
yang sudah dilakukan selama ini baik yang dilakukan oleh Pusat Arkeologi
Nasional atau pun
balai arkeologi terhadap situs-situs yang diduga berasal dari
awal masa sejarah yang telah dan sedang dilakukan adalah dua situs berada di
Pantai Timur Sumatera, yakni Situs Karangagung dan Air Sugihan; dua situs
berada di Pantai Utara Jawa Barat, yakni Situs Batujaya dan Situs Pedes; dan
satu situs di Pantai Utara Bali, yakni Situs Pangkung Paruk (Peta 1). Berikut
gambaran hasil penelitian di lima situs yang seluruhnya berada di kawasan
pantai.
2.1 Situs Karangagung
Situs
ini terletak di kawasan Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Banyuasin.
Penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Palembang sejak tahun 2000 telah
menemukan sebanyak 26 lokasi yang berada di Desa Mulyaagung, Karyamukti,
Karangmukti, Sariagung, Sukajadi, dan Bumiagung. Dari sejumlah lokasi yang
telah ditemukan tampaknya situs arkeologi di Desa Mulyaagung terutama sektor
MAG-1 merupakan situs yang paling padat temuannya (Budisantosa 2002:65-89).
Temuan
di Situs Karangagung secara keseluruhan menunjukkan adanya sisa-sisa permukiman
di wilayah tersebut, terutama berupa sisa-sisa tiang kayu dan nibung yang
merupakan sisa rumah panggung yang berdiri di tepi sungai lama yang sekarang
tinggal bekas alirannya saja. Tiang kayu dibuat dari batang kayu yang dikelupas
kulitnya dan pangkalnya dipangkas membentuk lancipan. Tiang kayu dari
kotak-kotak ekskavasi di sektor Mulyaagung 1 (MAG-1) tampaknya merupakan tiga 3
buah unit bangunan rumah yang masing-masing berukuran 360 x 360cm, 460 x 340
cm, dan 460 x 340 cm. Hasil analisis C-14 atas temuan tiang kayu dari Situs
Karangagung menunjukkan angka 1629-1624 BP atau abad ke-4 M. (Soeroso 2002).
Penelitian
inijugamemberikan gambaran bahwa situs-situs dibekas permukiman kuna di daerah aliran Sungai Lalan, tepatnya
di daerah pasang surut (tidal swamp). Jenis jenis tinggalan arkeologi yang
ditemukan selain tiang tiang rumah, antara lain kemudi perahu, wadah-wadah
tembikar, pelandas (anvil), bata, manik-manik, anting, gelang kaca alat batu,
alat tulang. Selain itu yang telah ditemukan oleh penduduk antara lain
gelang-gelang batu, cincin emas anting emas dan liontin perunggu (Budisantosa
2002:65-89).
Berdasarkan
jenis artefak yang ditemukan, komunitas Karangagung pada masa lalu bersandar
pada perdagangan internasional spesialisasi pekerjaan, dan stratifikasi sosial
(Budisantoso 2002:65-89).
Situs
Air Sugihan merupakan situs yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah di
Kecamatan Air Sugihan Kabupaten OKI menyimpan temuan-temuan arkeologi. Tidak
hanya di areal permukiman tetapi juga di areal
hutan lindung dan rawa-rawa yang sekarang mulai dibuka untuk kebun kelapa sawit
dan pohon akasia. Diketahui bahwa permukiman kuno di wilayah Air Sugihan ini
berada di sepanjang sungai lama (sungai alam) yang semuanya berakhir di Sungai
Air Sugihan dan terus berlanjut ke Muara Sugihan dan berakhir di Pantai Timur
Sumatera.
Secara
umum, lingkungan Situs Air Sugihan ini merupakan daerah yang di dominasi oleh
dataran rawa gambut dengan vegetasi rawa dan vegetasi sawah. Lingkungan rawa
gambut ini terbentuk dari sisa-sisa hewan dan tumbuhan yang proses
penguraiannya sangat lambat sehingga tanah ini mempunyai kandungan bahan
organik yang sangat tinggi.
Sejak
tahun 1980, daerah tersebut telah dijadikan lahan pemukiman trasmigrasi. Pada
survei tahun 1988 yang dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional di Situs Air
Sugihan ini ditemukan sejumlah manik-manik kaca, perhiasan emas, dan kendi
keramik dari Dinasti Sui (abad ke-6-7 M.). Selanjutnya pada tahun 2002-2003,
Balai Arkeologi Palembang berhasil menginventarisir beberapa sektor di Situs
Air Sugihan. Penelitian lanjutan dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional sejak
tahun 2007-2013.
Sampai saat ini, sebaran tinggalan arkeologi di Situs Air Sugihan hampir seluas 43 x 62 km persegi dan setidaknya lebih dari 74 situs dengan kepadatan yang berbeda- beda yang dikelompokkan ke dalam beberapa sektor yang penamaannya tergantung lokasi situs dengan desa terdekat. Situs-situs ini berada di sepanjang baratlaut dan tenggara Sungai Sugihan sampai ke Muara Sugihan. Melihat luasnya sebaran situs arkeologi di Situs Air Sugihan diduga bahwa permukiman di daerah Pantai Timur Sumatera dahulu telah cukup padat. Selain itu, sebagian besar temuan arkeologinya adalah fragmen tembikar yang dikatagorikan sebagai barang rumah tangga. Tingkat pembakaran rendah, campuran pasir yang dominan sehingga mempengaruhi kualitas tembikar yang memiliki kekerasan antara 3-4 mohs. Selain itu sebagian besar ditemukan tidak memiliki ragam hias. Periuk- periuk diperlukan untuk menyimpan air minum, seperti diketahui lingkungan rawa di Situs Air Sugihan tidak memungkinkan penyediaan air bersih dari sungai-sungai yang ada tetapi harus diperoleh dari sumber-sumber air, tampungan air hujan, atau sungai air tawar yang berjarak cukup jauh dari permukiman tersebut. Oleh karena itu diperlukan wadah- wadah air (tempayan/periuk) yang diperlukan untuk kebutuhan air minum.
Sampai
dengan tahun 2013, tampak jelas dari 74 situs yang telah ditemukan,situs- situs
yang berada di jalur anak Sungai Air Sugihan yang mengalir di wilayah Desa
Kertamukti, Nusakarta, Banyu Biru, semuanya di jalur 27 (Kabupaten OKI)
melewati kawasan perkebunan PT SBA (anak perusahaannya BAP dan Start) sampai ke
Sungai Pangeran dan berakhir di Muara Sugihan. Karakter temuannya memiliki
kemiripan dengan temuan di Situs Karangagung. antara lain tiang-tiang rumah
yang dibuat dari jenis kayu ulin/besi yang termasuk jenis kayu keras dan cocok
untuk kawasan gambut, temuan tembikar memiliki ragam hias geometris yang cukup
variatif, serta temuan alat alat logamnya memiliki kemiripan dengan temuan
sejenis di Oc-eo, Vietnam. Tampaknya situs-situs di jalur ini menandai satu
periode yang paling awal dari perkembangan kehidupan masyakarat di Air Sugihan.
Bisa jadi sektor ini merupakan periode awal dari muncul dan berkembangnya
masyarakat di Pantai Timur Sumatera sebelum Śrīwijaya (pra-Śrīwijaya).
Di luar kawasan tersebut, situs-situs yang berada di sebelah tenggara Sungai Air Sugihan banyak mengandung temuan fragmen keramik. Seperti di seluruh Sektor Kertamukti, Srijaya dan Nusakerta, Margomulyo, dan Bukit Batu. Untuk kelompok situs ini diduga mulai dihuni sejak pra-Śrīwijaya namun terus berkembang sampai pada masa Śrīwijaya seperti yang ditemukan di Sektor Kertamukti. Hal ini karena di wilayah ini juga ditemukan beberapa fragmen artefak yang mencirikan adanya kemiripan dengan temuan artefak di Situs Oc-eo, Vietnam. Seperti temuan intaglio berelief sapi, dan anting-anting timah. Meskipun keramik mulai dikenal oleh masyarakat di Air Sugihan pada sekitar abad ke-8 M., namun wadah tembikar tetap diproduksi dan digunakan. Barang tembikar seperti tungku, tutup, kendi, dan periuk adalah jenis wadah yang masih populer.
Besar
kemungkinan masyarakat di Situs Air Sugihan sudah terdeferensiasi meskipun
pembagian kelompok masyarakat tersebut belum terlalu jelas/tegas. Setidaknya
didalam masyarakat Air Sugihan Kuna ada kelompok pertama, adalah kelompok
masyarakat yang pekerjaannya mengumpulkan sumberdaya hasil hutan seperti damar
dan gaharu. Mereka mengumpulkan damar, gaharu, sagu, madu, dll. Selain untuk
kebutuhan sendiri juga sebagian hasilnya diperdagangkan keluar daerah. Gaharu meski
bukan komoditas yang utama tetapi keberadaannya diperlukan oleh masyarakat di
Cina, India dan Timur Tengah. Berita China secara jelas menyatakan bahwa
perdagangan gaharu telah menjadi komoditas yang dicari pada abad ke-6 M.
(Wolters 2011:103).
Kelompok kedua, mereka adalah para pelaut-pedagang yang membawa hasil sumberdaya alam keluar. Tentunya kelompok kedua inilah yang melakukan kontak dengan masyarakat luar dan dari mereka juga komoditas asing bisa sampai ke pelosok- pelosok tempat di Pantai Timur Sumatera. Di luar dua arus besar itu di lingkungan mereka juga muncul kelompok yang memiliki keahlian membuat alat dari tembikar dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia, ada pula kelompok masyarakat yang membuat alat-alat logam terutama alat logam yang terbuat dari campuran timah dan pengrajin emas. Khusus emas, mereka telah mengenal cara penyepuh logam tembaga dengan emas. Timah tampaknya diperoleh secara tradisional dari daerah Bangka yang letaknya berhadapan langsung dengan Pantai Timur Sumatera. Adapun emas diperoleh dari pedalaman Sumatera yang secara tradisional sudah mengenal cara memperoleh emas dari sungai-sungai di Sumatera seperti Sungai Batanghari.
Terkait dengan aspek hunian, perlu ditambahkan bahwa masyarakat Air Sugihan kuna juga telah memiliki kemampuan membuat rumah-rumah panggung dengan menggunakan batang pohon bebeko/ulin sebagai tiang utama penyangga rumah panggung yang didirikan. Melihat ukuran tiang dari kayu ulin yang berdiameter antara 30-50 cm jelas bukan pekerjaan satu atau dua orang unyuk mendirikan tiang-tiang tersebut tetapi diperlukan sekelompok orang dewasa. Melihat jarak antar tiang sekitar 3 - 3,5 meter dan panjang hampir 20 meter maka tampaknya rumah yang dibangun dengan tiang ulin bukanlah rumah yang berukuran kecil tetapi satu rumah panjang yang dapat dihuni oleh beberapa keluarga.
Pada
masa yang kemudian, periode Śrīwijaya, mereka beralih membuat tiang rumah dari
batang-batang nibung sebagai tiang utama penyangga rumah. Pohon nibung termasuk
jenis tanaman yang banyak tumbuh di daerah rawa seperti di Pantai Timur
Sumatera. Selain itu mereka juga telah mampu mengayam bilah-bilah bambu untuk
dibuat dinding bambu (bilik), tikar, serta peralatan rumah lainnya yang terbuat
dari bambu. Dari hiasan pada wadah tembikar diketahui pula bahwa mereka juga
telah membuat alat dari daun pohon pandan (tikar pandan).
Kompleks
Percandian Batujaya yang terletak di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, Desa
Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Secara
geografis situs tersebut terletak di daerah ujung Karawang pada koordinat
6°06’15”- 6°16’17” Lintang Selatan dan 107°09’01” - 107°09’03” Bujur Timur.
Saat ini di Situs Batujaya terdapat 39 lokasi yang tersebar dalam radius 5
kilometer dan berada sekitar 6 km arah selatan dari pantai utara Jawa Barat.
Secara
topografis, kompleks ini berada pada dataran rendah aluvial dengan ketinggian
sekitar 4 meter di atas permukaan laut. Kompleks situs dikelilingi oleh
persawahan irigasi. Di sebelah selatan mengalir Sungai Citarum sedangkan di
utara situs merupakan daerah persawahan, tambak, dan permukiman sampai ke
Pantai Utara Laut Jawa.
Sungai
Citarum sebagai sungai utama yang mengalir di daerah Batujaya berhulu di lereng
Gunung Wayang, Malabar. Lebar sungai sekitar 40-60 meter terutama di daerah
hilir. Sungai ini tergolong berstadia tua dengan ciri lembah berbentuk huruf U
dan aliran sungai berkelok-kelok. Mendekati muara di Laut Jawa, aliran sungai
ini terpecah menjadi tiga yakni Solo Bungin, Solo Balukbuk, dan Kali Muara
Gembong; sedangkan beberapa anak Sungai Citarum yang mengalir di daerah sekitar
Batujaya saat ini ada tiga yang semuanya bermuara di Laut Jawa, yakni Sungai
Pakis dan Cikiong dengan anak-anak sungainya (Soeroso 1995:119).
Berdasarkan
hasil pemetaan, diketahui bahwa kompleks percandian Batujaya dibelah oleh
sebuah sungai besar yang hulunya merupakan rawa belakang yang selalu tergenang
air. Rawa belakang juga menampung limpahan air Sungai Citarum yang sewaktu-
waktu meluap.
Kompleks percandian (yang dilingkari warna merah) diketahui berada di sebelah kiri dan kanan jalur sungai ini, sedangkan bagian kompleks percandian paling utara adalah Telagajaya VI (Unur Gundul). Pada tahun 1970-an masyarakat di sekitar candi masih bisa mengarungi Kali Asin lama ini sampai Unur Gundul. Kini yang disebut dengan Kali Asin hanyalah sebuah sungai kecil yang lebarnya tidak lebih dari dua meter dan itu pun telah banyak mengalami pelurusan jalur sungai. Survei dilakukan pada jalur Kali Asin menemukan paling tidak ada delapan lokasi. Sebagian besar lokasi temuan berada tepi Kali Asin lama dan hanya dua yang ditemukan di areal persawahan. Adapun temuan lepas yang berhasil ditemukan masyarakat sebagian besar berupa keramik (tempayan, mangkuk, piring, dan cepuk). Keramik paling tua berasal dari sekitar abad ke-6 M. (Dinasti Sui) yang ditemukan di daerah Kalimati. Temuan alat logam di daerah Kedondong, Berek, Kali Asin-Cikande seperti tutup mangkuk, mangkuk, dan cermin dapat diidentifikasi sebagai alat-alat keperluan sehari-hari dan alat-alat yang biasa digunakan dalam kegiatan upacara keagamaan Hindu- Buddha.Munculnya permukiman masyarakat pendukung bangunan Percandian Batujaya pada abad ke 6-11 M., sebenarnya bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba, namun permukiman ini diduga telah ada sejak masa Jalur Sungai Kali Asin Lama (warna merah) sebaran bangunan suci di kompleks Candi Batujaya (dalam lingkaran warna hitam) dan sebaran situs arkeologi di jalur kali asin lama (titik warna merah) (insert: Situs Batujaya) protosejarah. Pada masa sekitar awal abad masehi masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Kali Asin lama adalah masyarakat pendukung Kebudayaan Buni (Buni Pottery Complex) yang telah menguasai teknologi pembuatan tembikar dan pengolahan logam.
Secara
garis besar kronologi okupasi kawasan di daerah Batujaya dapat dikelompokkan
kedalam tiga fase zaman yang meliput masa awal sejarah sampai menjelang abad
ke-11 M. Setelah itu wilayah ini seperti ditinggalkan oleh penduduknya sampai
pada akhirnya lahan ini kembali dibuka pada awal abad ke-18 M. Dari catatan
pemerintah Kolonial Belanda, pada tahun 1684, daerah ini hanyalah berupa
rawa-rawa yang tidak berarti. Baru pada tahun 1706 atas perintah pemerintah
Kolonial Belanda, daerah ini dibersihkan dan dijadikan areal persawahan dan
perkebunan.
2.3.1 Periode Protosejarah
Pada
periode protosejarah, daerah Batujaya termasuk bagian dalam wilayah sebaran
budaya yang dikenal dengan istilah Buni Pottery Complex, yakni satu komunitas
masyarakat prasejarah yang berkembang di sepanjang pantai utara Jawa Barat
mulai dari daerah Buni (Bekasi) sampai (Cilamaya) Karawang1. Beberapa Situs
Buni yang pernah diteliti antara lain di Buni, Kedungringin, Cabangbungin, dan
Bulaktemu di Bekasi, Batujaya, Kobak Kendal, Cilebar, Babakan Pedes di daerah
Rengas Dengklok (Sutayasa 1969:1). Hal ini didasarkan pada temuan sejumlah
rangka manusia yang disertai dengan bekal kubur berupa wadah tembikar. Wadah
tembikar yang paling dominan adalah periuk kecil (kendil) berdiameter antara
10- 15 cm beserta tutupnya, piring dengan bibir tepian tegak, dan mangkuk.
Wadah-wadah ini diletakkan di bagian kepala atau bagian kaki dari rangka.
Selain wadah tembikar, temuan lain seperti kapak batu neolitik, alat- alat
logam (besi dan tembaga), manik-manik batu dan kaca, dan artefak dari tulang
juga banyak dilaporkan (Wahyono 1993:97). Sebagian rangka diberi perhiasan
berupa kalung, cincin, penutup mata, dan gelang. Hal ini menandakan adanya
stratifikasi sosial dalam masyarakat pendukung tembikar Buni.
Dari
hasil pertanggalan terhadap temuan arang di sekitar kerangka manusia tersebut
didapat masa sekitar abad ke-1 S.M. sampai abad ke- 4 M. Umumnya rangka
dikuburkan secara langsung dengan arah kepala pada bagian timur laut dan kaki
baratdaya. Mereka telah menguasai teknologi logam dan pembuatan tembikar dengan
tatap pelandas. Berdasarkan hasil penelitian yang difokuskan pada di Sektor
Segaran II (Unur Lempeng) diketahui bahwa pada kubur-kubur yang ditemukan
antara abad ke-1 S.M. - 1 M. seluruh bekal kuburnya merupakan wadah tembikar
Buni. Tembikar non-Buni, yaitu rouletted ware mulai ditemukan pada sekitar abad
ke-2 M. Dari fisiknya, tembikar rouletted ware ini mudah dibedakan dengan
tembikar-tembikar Buni. Tembikar rouletted ware ini sangat keras, dibuat dengan
teknik roda putar serta melalui pembakaran yang cukup tinggi dibandingkan
pembakaran pada tembikar Buni.
Selain
fragmen-fragmen tembikar Buni, di Unur Lempeng ini, temuan lebih dari 20
individu yang saat ditemukan beberapa di- antaranya dalam kondisi lengkap,
sebagian besar kerangka disertai bekal kubur berupa wadah tembikar, alat logam,
manik-manik, dan perhiasan (emas). Dengan ditemukannya rouletted ware diduga
masyarakat Buni telah melakukan kontak dengan India pada masa itu2. Jika
pertanggalan terhadap temuan rouletted ware di Batujaya baru sekitar abad ke-2
M. dapat diterima itu berarti bahwa pada periode ini pendukung Buni Pottery
Complex mulai melakukan hubungan dengan masyarakat internasional. Itu berarti
bahwa pada periode sekitar 2-4 M. dapat dianggap saat-saat transisi masyarakat
pendukung Buni Pottery Complex mulai menapak jalan dari masa protosejarah
menuju masa sejarah. Periode transisi ini cukup penting karena pada masa yang
tidak terlalu lama di Jawa Barat akhirnya berdiri sebuah institusi politik yang
dikenal sebagai Kerajaan Tārumanāgara.
2.3.2 Periode Kerajaan Tārumanāgara
Periode
Kerajaan Tārumanāgara muncul pada sekitar abad ke-5 M. yang ditandai oleh
kehadiran tujuh prasasti batu yang ditemukan di sekitar Jawa Barat dengan
rajanya yang terkenal Purnawarman. Namun kapan dan di mana tepatnya kerajaan
ini berdiri belumdapat diketahui secara pasti. Dari hasil pengamatan
stratigrafi di Candi
Blandongan (SegaranV) dan
beberapa sektor lainnya diketahui bahwa pembangunan tahap pertama kompleks
percandian ini telah dimulai setidaknya dari masa Tārumanāgara (abad ke-5-7
M.). Salah satu temuan yang cukup menarik pada periode ini adalah votive tablet
Buddha yang sezaman dengan votive tablet dari Periode Dwārawati sekitar abad
ke-6/7 M. (Ferdinandus 2002:22). Namun pembangunan kompleks candi bersifat
buddhistik hanya terkonsentrasi di daerah Batujaya saja, sedangkan di beberapa
lokasi lainnya di Jawa Barat, Waisnawa dan Śiwais lebih berkembang. Seperti
temuan kompleks candi dan tiga arca Wiṣ ṇ u yang diduga berasal dari abad ke-5
M. di Situs Cibuaya (20 km arah timur Situs Batujaya); Candi Bojongmenje di
Rancaekek, Kabupaten Bandung; dan Candi Cangkuang di Kabupaten Garut yang
berdasarkan gaya arsitekturnya diduga berasal Perkembangan Buddhisme di wilayah
ini seiringi dengan tumbuhnya pusat ajaran Buddha di Śrīwijaya (Palembang).
Namun demikian, Buddhistik di Jawa Barat pengaruhnya sebatas di Pantai Utara
Jawa Barat saja (Batujaya) kemungkinan karena tidak adanya dukungan secara
politik mengingat penguasa kerajaan Tārumanāgara lebih memilih Hindu sebagai
alat legitimasi kekuasaannya. Hal ini tercermin dari prasasti-prasasti yang
dikeluarkan yang menyebut Wiṣ ṇ u. Disamping itu jika dikaitkan dengan prasasti
Kota Kapur yang menyebutkan tentang serangan Śrīwijaya ke Jawa seringkali
dikaitkan dengan keruntuhan Tārumanāgara karena setelah abad ke-7 M. kerajaan
ini tidak terdengar lagi.
2.3.3 Periode Kerajaan Sunda
Periodeiniditandaidenganpembangunan
tahap ke-2 di Kompleks Candi Blandongan (Segaran V) yang dapat dilihat dari
adanya lantai kedua (terakhir) di Candi Blandongan (Segaran V)3. Pembangunan
tahap ke-2 diketahui paling tidak sekitar akhir abad ke- 8- 9 M. Hal ini
diindikasikan oleh temuan dua fragmen stoneware Cina (Guangdong) yang berasal
dari akhir abad ke 8-9 M. yang ditemukan di bawah lapisan lantai kedua ini.
Pada periode ini, diketahui bahwa bangunan suci di Kompleks Percandian Batujaya
dilapisi oleh stuko namun tidak diberi hiasan berupa ornamen bangunan kecuali
kelompok bangunan di Sektor Telagajaya I. Hal ini sangat berbeda dengan apa
yang ditemukan pada kelompok candi di Telagajaya I (TLJ I), di sektor ini
tampaknya seluruh bangunan diberi hiasan ornamen bangunan yang sangat variatif.
Ornamen tersebut berupa ragam hias tumbuh- tumbuhan dan binatang dan motif
geometris yang cukup raya. dari sekitar abad ke-7 M. Periode abad ke-6-7 M.
adalah puncak pertumbuhan agama Buddha di Batujaya yang tampak dari banyaknya
bangunan stūpa dan bangunan lainnya yang didirikan.
Jika
pembangunan tahap II, Candi Blandongan dikaitkan dengan situasi politik pada
masa tersebut maka satu-satunya sumber tertua adalah prasasti Rakryan Juru
Pangambat yang berangka tahun 854 Saka (932 M.). Prasasti yang ditemukan di
Desa Kebon Kopi ini menyebutkan “...ba(r) pulihkan haji sunda... Bagian ini
dapat diterjemahkan sebagai “memulihkan Raja Sunda”. Jika tafsiran ini benar
itu berarti pada sekitar abad ke-10 M. telah muncul sebuah institusi politik
baru pengganti Tārumanāgara yang sudah tidak diketahui kabarnya lagi sejak abad
ke-7 M. (Pusponegoro dan Notosusanto 2008:381).
Situs
Pedes secara administratif termasuk dalam wilayah Dukuh Kobak Kendal, Desa
Kendal Jaya, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Secara
geografis terletak di daerah yang berjarak 3 km dari garis Pantai Utara Jawa
bagian barat dan secara topografis sebagian besar wilayah Kecamatan Pedes
termasuk dataran rendah alluvial dengan ketinggian 0-6 meter di atas permukaan
laut. Kemiringan tanah 0-2% yang berarti permukaan tanahnya cukup landai. Di
daerah ini sebagian besar lahannya dipakai untuk areal persawahan dengan
irigasi. Di beberapa tempat masih terdapat rawa dan tanah tanah darat.
Pada
dataran alluvial yang subur itu mengalir Sungai Cisaga di sisi utara dan Sungai
Ciparege, anak Sungai Citarum yang bermuara ke timur laut melewati areal
persawahan dengan irigasi. Beberapa buah saluran irigasi sekunder terdapat di
tepi-tepi lahan persawahan dan lahan permukiman. Padi yang ditanam di
persawahan itu dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun.
Selain
daerah Kobak Kendal beberapa daerah sekitarnya juga yang pernah dilaporkan
adanya temuan arkeologi seperti daerah Batujaya, Rawa-Menombo, Pojoklaban,
Cilebar, Cikuntul, Cibutek, Dongkal, Babakan Pedes, Puloglatik, Puloklapa, dan
Tegalkunir. Di daerah-daerah ini pernah dilaporkan adanya temuan emas dan
sejumlah wadah tembikar yang diidentifikasi oleh Sutayasa dan Soejono sebagai bagian dari kompleks tembikar
Buni. Namun demikian situs-situs yang telah dieksplorasi lebih jauh (tahun
2008-2010) baru daerah Kobak Kendal, Dongkal, dan Cikuntul. Berdasarkan hasil
penelitian diketahi bahwa Situs Kobak Kendal, Dongkal, dan Cikuntul merupakan
bagian sebuah situs kubur dari periode prasejarah akhir atau awal Masehi (masa
protosejarah). Pada masa prasejarah sampai protosejarah, situs ini merupakan
bagian dari budaya Kompleks Tembikar Buni. Hal ini didasarkan pada temuan
sejumlah kerangka manusia yang disertai dengan bekal kubur berupa wadah
tembikar. Wadah-wadah ini diletakkan di bagian kepala atau bagian kaki dari
kerangka. Selain temuan tembikar Buni sebagai bekal kubur, ditemukan juga fragmen
tembikar dari situs Oc-eo, Vietnam.Temuan bekal kubur lainnya adalah sejumlah
alat logam berupa parang atau pisau.
2.5 Situs Pangkung Paruk
Penelitian awal sejarah di Pantai Utara Bali dimotori oleh I Wayan Ardika yang melakukan penelitian di Situs Sembiran dan Pacung Bali utara. Temuannya antara lain tembikar Arikamedu dari beberapa tipe, fragmen gigi manusia, manik-manik, dan fragmen tembikar lokal. Diantara fragmen tembikar yang ditemukan, terdapat tembikar yang mengandung sekam (kulit padi). Dari analisis AMS radio carbon atas sekam tersebut diperoleh umur 2660 ±100 tahun. Manik-manik yang dominan adalah jenis manik-manik kaca Indo-Pasifik yang berwarna merah kecoklatan, yang biasa disebut mutisala (Ardika 2003:16). Penelitian yang dilakukan di Situs Pangkung Paruk yang berada di wilayah Laba Nangga, Desa Pangkung Paruk, Kecamatan Seririt,KabupatenBuleleng, Bali, menunjukkan bahwa bahwa situs ini merupakan bagian sebuah situs kubur dari periode prasejarah akhir atau awal Masehi (masa protosejarah). Pada masa protosejarah, situs ini merupakan bagian dari Situs Nekropolis Gilimanuk, yakni satu komunitas masyarakat prasejarah yang berkembang di sepanjang pantai baratlaut Bali di Kawasan Pantai Gilimanuk. Hal ini didasarkan pada temuan wadah tembikar (periuk) yang mempunyai pola hias terajala.
Ada beberapa catatan menarik dari temuan empat kerangka dalam sarkofagus disertai rangka yang dikuburkan langsung di tanah dalam posisi tertekuk. Pertama, temuan ini mencerminkan tatacara penguburan pada awal Masehi di Bali, Individu yang meninggal dikuburkan dengan dua cara, yakni diletakkan di dalam sarkofagus dan adapula yang langsung dikuburkan di dalam tanah. Adanya perbedaan tatacara penguburan ini diduga kuat terkait dengan status sosial dari individu yang dikuburkan. Bagi individu yang memiliki status sosial yang tinggi dalam komunitasnya maka dia akan dibuatkan satu sarkofagus yang dibuat dari jenis batuan breksi. Sumber bahan batuan diperoleh di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Untuk membuat dan membawanya dari tempat pembuatan diperlukan tenaga yang cukup besar. Dengan asumsi ini diduga kuat orang yang dianggap cukup penting di dalam komunitas tersebut sajalah yang penguburannya menggunakan peti kubur batu sarkofagus, sedangkan untuk kelompok masyarakat umum/ kebanyakan yang meninggal dimakamkan langsung. Asumsi ini diperkuat juga dengan temuan bekal kubur yang cukup banyak di dalam sarkofagus yang ditemukan. Bekal kubur yang disertakan di dalam sarkofagus Pangkung Paruk termasuk barang-barang yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Anting- anting emas, manik-manik kertas emas, hiasan kepala emas berbentuk kerucut, manik-manik logam dengan emas sepuhan, manik-manik batu karnelian, hablur, manik-manik kaca lapis emas, dan cermin perunggu.
Diantara sekian banyak temuan bekal kubur maka salah satu yang patut mendapat perhatian adalah dua buah cermin perunggu. Berdasarkan gaya seni hias pada bagian belakang cermin diduga cermin tersebut berasal dari masa Dinasti Xin (Raja Wang Mang) tahun 8-23 M., yang merupakan dinasti yang sangat singkat antara western Han dan eastern Han atau pada awal eastern Han (25 M.). Cermin dari bahan perunggu sebagai bekal kubur di dalam salah satu sarkofagus menurut Hsiao-Chun, merupakan benda tiruan yang diduga dibuat di Cina Selatan atau Vietnam dan berumur sekitar 2000 tahun yang lalu atau pada awal Masehi (Kompyang 2009:127). Cermin dari Situs Pangkung Paruk berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter 10,8 dan 12 cm, permukaan belakang cermin cembung di bagian tengah dan berlubang (bulat, persegi), hiasan bermotif geometris, flora, dan burung phoenix. Bentuk seperti ini sudah dikenal sejak masa Dinasti Han dan Tang. Penyertaan cermin sebagai bekal kubur dan cepuk dari keramik Cina Dinasti Song, Qinbaiware (abad 10-11 M.) Cermin perunggu dari Dinasti Han yang digunakan sebagai bekal kubur juga ditemukan di Situs Semawang, Sanur, Bali Selatan. Hasil ekskavasi menemukan cermin perunggu bertangkai sebagai bekal kubur individu dengan penguburan terbuka (tanpa wadah) (Astawa, I Dewa Gede Kompyang, dan Naniek Harkantiningsih 1984:18-23).
Melihat
beragam variasi dari bekal kubur yang disertakan tampaknya terkait dengan
kepemilikan dari individu yang dikuburkan. Bekal kubur berupa batu pipisan
beserta gandiknya termasuk barang yang tidak biasa. Keberadaan bekal kubur ini
juga mencerminkan tingkat kemajuan teknologi yang dimiliki oleh masyarakat
protosejarah di Bali. Mereka diketahui telah menguasai teknologi pembuatan alat
alat logam. Di Situs Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng secara
jelas menunjukkan pada kita adanya bengkel pembuatan alat alat logam. Hal yang
sama juga ditemukan pada teknologi pembuatan tembikar. Tembikar dengan motif
terajala diyakini merupakan buatan lokal. Selain artefak yang dibuat oleh
penduduk lokal, bekal kubur lainnya diperoleh melalui perdagangan. Mungkin
masyarakat Pantai Utara Bali telah melakukan kontak dengan dunia luar, dan
meskipun Bali tidak secara langsung berada di jalur perdagangan laut antara
India dan Oc-eo (Vietnam) - Cina, namun beberapa komoditas yang paling dicari
seperti kayu cendana, diperoleh di daerah timur Bali, didistribusikan ke Bali
lalu ke Jawa atau Sumatera. Dari sini barang tersebut di bawa ke India,
Vietnam, dan Cina.
3. Pembahasan
Dari
lima kompleks situs yang telah diteliti tampak jelas bahwa kelima kompleks
situs ini berasal dari sekitar awal abad pertama masehi dan pada masa itu masyarakat
Nusantara dihadapkan pada kondisi terbukanya jalur perdagangan internasional di
kawasan Selat Malaka yang semakin ramai. Hal ini mendorong masyarakat Nusantara
untuk terlibat lebih aktif didalamnya. Keterlibatan masyarakat Nusantara ini
pada akhirnya juga mempengaruhi peradaban di Nusantara. Pada periode ini
masyarakat Nusantara mulai melakukan kontak secara intensif dengan pedagang
internasional, sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan memberi efek yang sangat
signifikan terhadap munculnya peradaban “baru” yang dipengaruhi oleh
Hindu-Buddha.
Tampak
jelas bahwa masyarakat Nusantara pada sekitar awal abad Masehitelah merupakan
satu masyarakat yang memiliki tatanan sosial yang cukup teratur serta terdapat
stratigrafi sosial di dalam masyarakatnya. Kematian dianggap sebagai satu
perjalanan panjang oleh karenanya diperlukan bekal kubur bagi si individu yang
mati. Kematian tidak merubah status sosial seseorang sehingga terdapat
perbedaan perilaku bagi individu yang memiliki status sosial tinggi dibandingkan
yang lainnya. Perbedaan perlakuan ini bisa diwujudkan dengan menempatkan
individu di dalam sarkofagus (Situs Pangkung Paruk), ataupun pemberian penutup
mata emas (Situs Batujaya).
Masyarakat
Nusantara pada awal Masehi juga telah memiliki kemampuan membuat alat-alat
logam seperti senjata, dan perhiasan. Kemampuan ini sudah dimiliki jauh sebelum
pengaruh India masuk ke Nusantara. Sejumlah perhiasan yang ditemukan memiliki
kemiripan dengan temuan serupa di Situs Oc- eo, Vietnam. Temuan tersebut adalah
beberapa benda logam (benda timah seperti mata rantai, anting-anting timah dan
bandul perunggu yang menggambarkan orang menari), manik-manik kerawang emas,
dan manik-manik Indo- Pasifik. Situs Oc-eo adalah kota pelabuhan Kerajaan Funan
abad ke-3-6 M. di Delta Sungai Mekong.
Selain
perhiasan, temuan fragmen tembikar ada juga yang diketahui berasal dari Oc-eo,
Vietnam. Selain itu temuan yang berasal dari Cina secara sporadis ditemukan di
Nusantara seperti temuan fragmen tembikar dari Dinasti Han di Situs Batujaya, cermin
perunggu dari Dinasti Han di Situs Pangkung Paruk dan bandul kalung bergambar
makhluk mitologi Cina yang dipercaya sebagai dewa pelindung di dalam
perjalanan, ditemukan di Situs Air Sugihan.
Kontak
masyarakat Nusantara tidak hanya dengan pedagang dari kawasan Asia Tenggara dan
Cina tetapi juga yang sangat besar pengaruhnya pada masa-masa berikutnya adalah
berasal dari India. Melihat tinggalan budaya yang berupa tembikar rouletted
wares, diduga para saudagar India ini berangkat dari wilayah Arikamedu di
Pantai Tenggara India sebelah selatan. Komoditi perdagangan lainnya adalah
manik-manik batu karnelian. Manik- manik jenis ini suatu saat pernah menjadi
barang komoditi penting dari India.
Bersamaan
dengan aktivitas niaga, para saudagar India ini membawa pendeta Hindu dan biksu
Buddha. Pada awalnya ajaran Hindu yang berkembang di beberapa tempat di
Nusantara adalah aliran Waiṣ ṇ awa, yaitu suatu ajaran yang memuja Dewa Wiṣ ṇ u
sebagai dewa utama. Ajaran ini dianut oleh kelompok- kelompok masyarakat di Situs
Kota Kapur, Bangka, Situs Cibuaya, Karawang dan Situs Muarakaman, Kutai (pada
sekitar abad ke- 5-7 M.). Adapun Ajaran Buddha dianut oleh kelompok masyarakat
di Situs Batujaya, Situs Bukit Siguntang di Sumatera Selatan, dan Situs Batu
Pait di Kalimantan Barat pada sekitar abad ke-6-7 M. Di Situs Batu Pait
ditemukan sebuah prasasti yang dipahatkan pada batu berukuran 4 x 7 meter.
Isinya tentang mantra- mantra Buddha yang ditulis dalam aksara Pallawa dan
bahasa Sanskerta. Berdasarkan paleografinya prasasti ini berasal dari abad ke-
6-7 M. (Atmojo 1994: 2).
Kedatangan
para saudagar India ke Nusantara tidak saja membawa perubahan pada sistem
kepercayaan, mereka juga mengenalkan aksara. Menjelang millenium pertama
Sebelum Masehi, para penutur sub-rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat sudah
mencapai pesisir Indocina (Kamboja), Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Sumatera
(Bellwood 1992: 55-136). Di Nusantara, para penutur ini sudah menggunakan
bahasa Melayu Kuna. Dengan datangnya para saudagar India, mereka diperkenalkan
dengan aksara Pallawa. Aksara ini dikembangkan oleh Dinasti Pallawa yang berkuasa
di India Selatan. Di Sumatera banyak prasasti (terutama prasasti-prasasti
Buddha) yang ditulis dalam bahasa Melayu Kuna dan menggunakan aksara Pallawa
(Damais 1995:7).
Penelitian
di Pantai Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa Barat ini merupakan titik awal
dan mempunyai peran penting bagi tumbuhnya institusi kerajaan yang bercorak
Hindu-Buddha, sebagai embrio bagi munculnya kerajaan Śrīwijaya di Sumatera dan
Kerajaan Tārumanāgara di Jawa Barat. Wolters (1974:60) pernah menyebutkan bahwa
Ko-ying sebagai kerajaan yang terletak di dekat selatan dari pintu masuk ke
Selat Malaka dan juga percaya bahwa pada awalnya posisi Ko-ying berada di
Pantai Timur Sumatera. Dia menyatakan bahwa daerah sepanjang pesisir Sumatera
antara Jambi dan Palembang adalah lokasi yang paling strategis untuk pelayaran
dan kapal-kapal menunggu angin muson untuk berlayar ke timur (Oc-eo). Pada
waktu-waktu tertentu kapal bisa tiba ke Kanton dari Palembang dalam waktu lima
hari tanpa melakukan transit (Manguin et al. 2006:59). Hal ini diketahui dalam
sumber- sumber sejarah sebagai tempat transit yang terakhir untuk kapal-kapal
dari India, serta tempat untuk mengirimkan komoditas dari India - mungkin
ditangani oleh pedagang lokal, membuat mereka melakukan perdagangan lebih ke
timur ke Nusantara. Ko-ying, menjadi pemerintahan yang paling berpengaruh pada
periode tersebut. Tetapi kemudian, Wolters merevisi pendapatnya mengenai lokasi
Ko- ying yang kemudian ia duga berada di atau dekat Karawang, Jawa Barat. Ia
menilai bahwa Ko-ying berarti “Kawang” dan kemungkinan menjadi pusat
perdagangan internasional di
Jawa Barat yang dikenal sebagai Ptolemeus
Argrye (1979:29). Belakangan, kedua lokasi yang disebutkan oleh Wolters (Pantai
Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa Barat/ Karawang) diketahui sebagai kawasan
situs arkeologi yang sangat potensial. Sumber Cina dari pertengahan pertama
abad ke-3 M. ini juga menyebutkan bahwa Ko- ying adalah suatu kerajaan di
lingkungan kaum Barbar di selatan. Kerajaan ini sangat kuat, penduduknya
banyak, hasilnya adalah mutiara, emas, batu giok dan kristal serta pinang. Emas
dan pinang tentunya dari Sumatera dan lainnya berasal dari pedagang asing.
Lebih lanjut Berita Cina menyebutkan Ko-ying berada di sebelah selatan Chu-chih
(mungkin di tanah genting Semenanjung Tanah Melayu), di sebelah utara terdapat
gunung berapi. Di sebelah selatan Ko- ying terdapat Teluk Wen, di teluk ini
terdapat Chou (pulau) yang disebut P’u-lei. Orang yang tinggal di P’u-lei
berkulit hitam, giginya putih, matanya merah, mereka semua telanjang. Di
sebelah tenggara Ko-ying terdapat Ssŭ-t’iao yang sangat subur (Wolters
1974:52-53). Ko-ying yang letaknya dekat jalan masuk ke Selat Malaka di sebelah
selatan tampaknya merupakan terminal bagi kapal-kapal India, dan menjadi titik
pemberangkatan barang- barang dagangan dari India untuk dikirim lebih jauh ke
pulau-pulau di sebelah timur (Wolters 1974:60).
Sumber
Cina yang lebih muda, dari abad ke-5-6 M., menyebut nama Kan-t’o-li sebagai
kerajaan di sebelah timur Sumatera Selatan yang mengirim utusan ke Cina pada
tahun 441-563. Kan-t’o-li adalah suatu kerajaan yang maju dalam perdagangan
(Wolters 1974: 211). Diperkirakan komoditi utama dari Kan-t’o-li adalah damar,
kemenyan, dan kamper, hasil hutan yang berasal dari pedalaman Sumatera. Menurut
Berita Cina dari dinasti Ming, San- fo- tsi (Śrīwijaya) dulu disebut Kan-t’o-li
(Pusponegoro dan Notosusanto 2008: 101).
Oleh karena itu selain melakukan eksplorasi yang intensif di Pantai Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa Barat, juga perlu dilakukan penelitian terhadap data tekstual perlu dilakukan untuk memastikan lokasi Ko-ying yang sudah disebut-sebut dalam Berita Cina dari kira-kira abad ke-3 M., dan Kan-t’o-li yang menurut sumber-sumber Cina berasal dari abad ke-4-5 M. Disamping itu perlu diteliti juga situs- situs baru yang diperkirakan berasal dari periode yang sama, misalnya di daerah Barus (Sumatera Utara) daerah Seririt (Bali Utara) dan di Pantai Timur Kalimantan Timur. Penelitian di Kalimantan Timur ini sangat penting untuk mendapatkan data mengenai komunitas yang mengawali atau menjadi dasar tumbuhnya Kerajaan Kutai.
4.
Penutup
Jauh
sebelum kedatangan budaya India ke Nusantara, di daerah-daerah pesisir pulau di
Nusantara telah dihuni kelompok-kelompok masyarakat yang mungkin masyarakat
penutur bahasa Austronesia. Sejak awal kedatangannya, kelompok-kelompok
masyarakat ini telah mengenal pelayaran antarpulau, bahkan mungkin telah
menjelajahi samudera. Kepandaian menyeberangi samudera dengan alat angkut yang
diciptakannya ini, mendorong mereka untuk dapat berhubungan dengan
bangsa-bangsa lain di tempat yang jauh untuk melakukan aktivitas niaga.
Sejak
awal milenium pertama tarikh Masehi, bangsa-bangsa di Asia telah melakukan
aktivitas niaga, termasuk di antaranya bangsa India dan Cina. Bangsa India
datang ke Nusantara diduga dalam usahanya “menemukan” komoditi rempah-rempah
yang diduga telah lama dikenal sampai jauh ke Eropa. Di Nusantara, jalur
pelayaran yang orang-orang India tempuh adalah melalui Selat Malaka ke arah
tenggara melalui perairan Sumatera, Selat Bangka, dan Laut Jawa. Di beberapa
tempat mereka menjumpai hunian di beberapa tempat di Pesisir Timur Sumatera dan
Pesisir Utara Jawa.
Kontak-kontak dengan masyarakat luar itulah
yang kemudian membawa masyarakat Nusantara memasuki era sejarah yang telah
literate dengan bekal pengenalan aksara dari India, juga agama Hindu-Buddha,
serta institusi kerajaan yang diserap dari India juga. Berdasarkan pengamatan
pada situs-situs yang telah diteliti, diketahui bahwa beberapa situs menjadi
embrio kerajaan- kerajaan Nusantara. Sebagai contoh dapat dikemukakan Situs
Karangagung dan Air Sugihan di Pantai Timur Sumatera Selatan, Situs Batujaya,
Cikuntul, dan Dongkal di Pantai Utara Jawa Barat dan Situs Sembiran dan
Pangkung Paruk di Pantai Utara Bali yang menjadi dasar tumbuhnya Kerajaan
Śrīwijaya di Sumatera, Kerajaan Tārumanāgara di Jawa Barat, dan Kerajaan
Singhamandawa di Bali.
Diharapkan
penelitian lebih intensif atas situs-situs awal masa sejarah ini dapat
mengungkapkan bagaimana peranan masyarakat Nusantara dalam keikutsertaan mereka
dalam perdagangan internasional dan juga pergaulan internasional pada umumnya.
*****
No comments:
Post a Comment