Mengkaji proses masuknya pengaruh agama Hindu dan agama Budha ke wilayah Nusantara, memang memerlukan analisis yang cukup dalam. Hal tersebut dikarenakan
belum
terdapat kesepakatan yang bulat diantara para ahli mengenai siapa yang membawa
kebudayaan tersebut ke Nusantara. Secara garis besar, peneliti membagi proses
masuknya budaya Hindu-Buddha menjadi dua. Pendapat pertama bertolak dari anggapan
bahwa bangsa Indonesia berlaku pasif dalam proses ini. Para pendukung konsep
pertama ini selalu beranggapan bahwa telah terjadi kolonisasi oleh orang-orang
India.
Teori yang termasuk dalam kelompok pendapat pertama antara lain: Teori Brahmana,
Teori Ksatria, Waisya, dan Sudra. Pendapat kedua yang muncul lebih akhir memberikan
peranan aktif kepada bangsa Indonesia. Yang termasuk dalam dalam pendapat kedua
ini adalah Teori Arus Balik.
Berikut
teori masuknya Agama Hindu-Buddha :
a.
Teori Brahmana
Van
Leur mengajukan keberatan baik terhadap teori ksatria atau pun teori Waisya. Keberatan
pertama adalah mengenai kolonisasi. Suatu kolonisasi yang melibatkan penaklukan
oleh golongan ksatria tentunya akan dicatat sebagai suatu kemenangan. Namun,
catatan itu tidak ditemukan dalam sumber-sumber tertulis di India. Di Indonesia
pun tidak ditemukan prasasti-prasasti sebagai bukti adanya penaklukan. Selain
itu,suatu kolonisasi selalu disertai oleh pemindahan segala unsur masyarakat
dari tanah asal. Misalnya, sistem kasta, kerajinan, bentuk rumah, tata kota,
bahasa, pergaulan, dan sebagainya. Dalam
kenyataannya apa yang terdapat di Indonesia berbeda dengan yang terdapat di
India. Kalaupun ada pedagang-pedagang India yang menetap, mereka bertempat
tinggal di perkampungan-perkampungan khusus. Sampai sekarang masih ditemukan
Kampung Keling di beberapa tempat di Indonesia barat.
Mereka
yang menetap di perkampungan khusus itu kedudukannya tidak berbeda dengan
rakyat biasa di tempat itu. Hubungan mereka dengan penguasa hanyalah dalam bidang
perdagangan, sehingga tidak dapat diharapkan adanya pengaruh budaya yang membawa
perubahan-perubahan dalam bidang tata negara dan agama. Hal ini menjadi lebih
jelas, karena sebagian besar pedagang itu adalah pedagang keliling yang berasal
dari kalangan masyarakat biasa.
Mengingat
unsur-unsur budaya India yang terdapat dalam budaya Indonesia, van Leur
cenderung untuk memberikan peranan penyebaran budaya India pada golongan brahmana.
Para brahmana datang atas undangan para penguasa Indonesia, sehingga budaya
yang mereka perkenalkan adalah budaya golongan brahmana. Sayangnya dari teori
brahmana Van Leur itu masih belum jelas pada yang mendorong terjadinya proses
tersebut. Ia berpendapat bahwa dorongan itu adalah akibat kontakdengan India
melalui perdagangan. Bukan hanya melalui orang-orang India yang datang, tetapi
mungkin juga karena orang-orang Indonesia melihat sendiri kondisi di India.
Terdorong
oleh keinginan untuk dapat bersanding dengan orang-orang India dengan taraf
yang sama dan terdorong pula untuk meningkatkan kemakmuran negerinya, mereka
pun mengundang Brahmana. Para brahmana ini kemudian melakukan upacara
vratyastoma, yakni upacara inisiasi yang dilakukan oleh para kepala suku agar
menjadi golongan ksatria. Pandangan ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan
Paul Wheatly bahwa para penguasa lokal di Asia Tenggara sangat berkepentingan
dengan kebudayaan India guna mengangkat status sosial mereka.
b.
Teori Ksatria
R.C.
Majundar berpendapat bahwa munculnya kerajaan Hindu di Indonesia disebabkan
oleh peranan kaum ksatria atau prajurit India. Para prajurit India diduga mendirikan
koloni-koloni di kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya. Namun,
teori ksatria yang dikemukakan oleh R.C. Majundar tidak didukung oleh data yang
memadai. Selama ini belum ada bukti arkeologis yang menunjukkan adanya ekspansi
prajurit India ke Indonesia.
c.
Teori Waisya
Pendapat
lain yang masih berpegang pada anggapan adanya kolonisasi, memberikan peranan
utama pada golongan lain. Teori yang pada awalnya diajukan oleh Krom ini memberikan
peranan utama kepada golongan pedagang (Waisya). Krom tidak sependapat bahwa
golongan ksatria merupakan golongan terbesar di antara orangorang India yang
datang ke Indonesia. Hal ini karena orang-orang itu datang untuk berdagang maka
golongan terbesar tentulah golongan pedagang.
Mereka
menetap di Indonesia dan kemudian memegang peranan dalam penyebaran pengaruh
budaya India melalui hubungan mereka dengan penguasapenguasa Indonesia. Krom
mengisyaratkan kemungkinan adanya perkawinan antara pedangang-pedagang tersebut
dengan wanita Indonesia. Perkawinan merupakan salah satu saluran penyebaran
pengaruh kebudayaan yang penting. Selain memberikan peranan pada golongan yang
berbeda, teori Krom mempunyai perbedaan lain jika dibanding dengan teori
ksatria.
Berdasarkan
pengamatan berbagai aspek budaya Indonesia-Hindu, Krom berpendapat bahwa unsur
Indonesia dalam budaya tersebut masih sangat jelas. Ia menyimpulkan bahwa
peranan budaya Indonesia dalam proses pembentukan budaya India di Indonesia
sangat penting. Hal itu tidak mungkin dapat terjadi jika bangsa Indonesia hidup
di bawah tekanan seperti yang digambarkan oleh teori ksatria. Teori Krom
mendapatkan banyak penganut di kalangan peneliti. Akan tetapi dengan adanya kemajuan-kemajuan
dalam penelitian, tumbuh pula pendapat yang beranggapan bahwa teori ini masih
kurang memberikan peranan pada bangsa Indonesia.
Walaupun
Krom telah melihat adanya peranan yang penting dari budaya Indonesia, tetapi
masih terdapat kesan bahwa proses itu tidak sepenuhnya ditentukan oleh bangsa Indonesia.
d.
Teori Sudra
Teori
Sudra dikemukakan oleh van Faber. Menurut teori ini, di India banyak terjadi
perang. Dengan demikian, banyak pula tawanan perang. Indonesia dijadikan sebagai
tempat pembuangan bagi tawanan-tawanan perang. Para tawanan perang itulah yang
menyebarkan kebudayaan Hindu di Indonesia.
e.
Teori Arus Balik
Bosch
sesuai pendirian dengan van Leur. Bertolak dari sifat unsur-unsur budaya
India
yang diamatinya dalam budaya Indonesia. Ia juga berpendapat bahwa proses indianisasi
di Indonesia dilakukan oleh kelompok cendekiawan dalam masyarakat yaitu para
administrator atau clerk.
Untuk
mengamati proses yang terjadi antara budaya Indonesia dan India, Bosch menggunakan
istilah penyuburan. Ia melihat dua jenis proses penyuburan. Penyuburan pertama
dan kemungkinan telah terjadi lebih dahulu adalah proses melalui pendeta agama
Buddha. Awal hubungan dagang antara Indonesia dan India bertepatan pula dengan
perkembangan pesat dari agama Buddha. Biksu-biksu agama tersebut menyebar ke
seluruh penjuru dunia melalui jalur-jalur perdagangan tanpa menghiraukan kesulitan-kesulitannya.
Mereka mendaki pegunungan Himalaya untuk menyebarkan agamanya di Tibet. Dari
Tibet kemudian melanjutkan dakwahnya ke utara hingga akhirnya sampai ke Cina.
Kedatangan mereka biasanya telah diberitakan terlebih dahulu. Setelah mereka
tiba di tempat tujuan biasanya mereka berhasil bertemu dengan kalangan
bangsawan istana.
Dengan
penuh ketekunan para biksu itu mengajarkan agama mereka. Selanjutnya dibentuklah
sebuah sanggha dengan biksu-biksunya. Melalui biksu ini timbul suatu ikatan
dengan India, tanah suci agama Buddha. Kedatangan biksu-biksu India di berbagai
negeri ternyata mengundang arus balik biksu dari negeri-negeri itu ke India. Para
biksu kemudian kembali dengan membawa kitab-kitab suci, relik dan kesan-kesan.
Bosch
menyebut gejala sejarah ini sebagai gejala arus balik. Aliran agama lain dari
India yang meninggalkan pengaruh di Indonesia adalah agama Hindu. Berbeda
dengan agama Buddha, para brahmana agama Hindu tidak dibebani kewajiban untuk
menyebarkan agama Hindu. Hal ini karena pada dasarnya seseorang tidak dapat
menjadi Hindu, tetapi seseorang itu lahir sebagai Hindu.
Dengan
konsep seperti, proses hinduisasi di Indonesia menjadi semakin menarik, karena
tidak dapat dipungkiri orang-orang Indonesia pasti awalnya tidak dilahirkan sebagai
Hindu, tetapi dapat beragama Hindu. Untuk dapat menjelaskan fenomena ini harus
dilihat terlebih dahulu watak khas agama Hindu. Agama Hindu pada dasarnya bukanlah
agama untuk umum dalam arti bahwa pendalaman agama tersebut hanya mungkin
dilakukan oleh golongan brahmana. Beranjak dari kenyataan ini, terdapat berbagai
tingkat keketatan pelaksanaan prinsip tersebut. Hal itu tergantung dari aliran sekte
yang bersangkutan. Adapun sekte agama Hindu yang terbesar pengaruhnya di Jawa
dan Bali adalah sekte Siwa-Siddhanta.
Aliran
Siwa-Siddhanta sangat esoteris. Seseorang yang dicalonkan untuk menjadi seorang
brahmana guru harus mempelajari kitab-kitab agama selama bertahun-tahun dan
setealh diuji baru dizinkan menerima inti ajarannya langsung dari seorang brahmana
guru. Brahmana inilah yang selanjutnya membimbingnya hingga ia siap untuk ditasbihkan
menjadi brahmana guru. Setelah ditasbihkan, ia dianggap telah disucikan oleh
Siqa dan dapat menerima kehadirannya dalam tubuhnya pada upacara-upacara tertentu.
Dalam
keadaan demikian ia dianggap dapat merubah air menjadi amrta. Brahmana itu
lantas diundang ke Indonesia. Mereka melakukan upacara khusus dapat menghindukan
seseorang (vratsyastoma). Pada dasarnya kemampuan mereka inilah yang
menyebabkan raja-raja Indonesia mengundang para brahmana ini. Mereka mendapat
kedudukan yang terhormat di kraton-kraton dan menjadi inti golongan brahaman Indonesia yang kemudian berkembang.
Penguasaan yang luas dan mendalam mengenai kitab-kitab suci menempatkan mereka
sebagai purohita yang memberi nasehat kepada raja, bukan hanya di bidang
keagamaan tetapi juga pemerintahan, peradilan, perundang-undangan dan
sebagainya.
PERKEMBANGAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN
HINDU-BUDHA
Kamu
pasti sudah tidak asing dengan candi Borobudur maupun candi Prambanan. Bangunan-bangunan
bersejarah tersebut merupakan pengaruh kebudayaan Hindu Buddha yang berkembang
di Indonesia pada abad ke 5 hingga 15. Kedatangan agama Hindu-Buddha di
Indonesia ini menimbulkan interaksi kontak budaya atau akulturasi dengan budaya
Indonesia. Lalu, apakah kamu tahu apa saja interaksi dan akulturasi tersebut?
Dan apa saja pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia? Kita simak yuk
penjelasannya pada modul berikut ini.
1.
Interaksi
Terjalinnya
kontak atau interaksi antara Penganut agama Hindu dengan masyarakat Indonesia
maka mengakibatkan adanya kontak budaya yang menghasilkan bentuk-bentuk
kebudayaan baru. Tetapi, tidak melenyapkan kepribadian kebudayaan sendiri.
Sebagaiaman diuraikan Haryoso akulturasi adalah fenomena yang timbul sebagai
hasil jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda
bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus menerus, yang kemudian
menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu
kelompok atau kedua-duanya. Oleh karena itulah masuknya kebudayaan
Hindu
ke Indonesia tidak diterima seperti apa adanya tetapi diolah dan disesuaikan dengan
budaya yang dimiliki penduduk Indonesia, sehingga budaya tersebut berpadu dengan
kebudayaa asli Indonesia menjadi bentuk akulturasi kebudayaan Indonesia Hindu.
Berikut adalah hasil interaksi sebagai wujud akulturasi budaya tersebut:
1.
Bahasa
2.
Religi / kepercayaan
3.
Organisasi Sosial Kemasyarakatan
4.
Sistem Pengetahuan.
5.
Peralatan Hidup dan Teknologi.
6.
Kesenian
2.
Akulturasi
Akulturasi
kebudayaan yaitu suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang
satu dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan
baru.
Kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan
kepribadian/ciri khasnya. Oleh karena itu, untuk dapat berakulturasi, masing-masing
kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan HinduBuddha dari India
dengan kebudayaan Indonesia asli.
Contoh
hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan
Indonesia
asli sebagai berikut:
1.
Seni Bangunan
Bentuk-bentuk
bangunan candi di Indonesia pada umumnya merupakan bentuk akulturasi antara
unsur-unsur budaya Hindu-Buddha dengan unsurbudaya Indonesia asli. Bangunan
yang megah, patung-patung perwujudan dewa atau Buddha, serta bagian bagian
candi dan stupa adalah unsur-unsur dari India.
Bentuk
candi-candi di Indonesia pada hakikatnya adalah punden berundak yang
merupakan
unsur Indonesia asli. Candi Borobudur merupakan salah satu contoh
dari
bentuk akulturasi tersebut.
2.
Seni Rupa dan Seni Ukir
Masuknya
pengaruh India juga membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat,
dan seni ukir. Hal ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan
pada bagian dinding-dinding candi. Misalnya, relief yang dipahatkan pada
dinding dinding pagar langkan di Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat
Sang Buddha. Di sekitar Sang Buddha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti
rumah panggung dan burung merpati.Pada relief kala makara pada candi dibuat
sangat indah. Hiasan relief kala makara, dasarnya adalah motif binatang dan
tumbuh-tumbuhan. Hal semacam ini sudah dikenal sejak masa sebelum Hindu.
Binatang-binatang itu dipandang suci, maka sering diabadikan dengan cara di Lukis
3.
Seni Sastra dan Aksara
Pengaruh
India membawa perkembangan seni sastra di Indonesia. Seni sastra waktu itu ada
yang berbentuk prosa dan ada yang berbentuk tembang (puisi). Berdasarkan
isinya, kesusasteraan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tutur (pitutur
kitab keagamaan), kitab hukum, dan wiracarita (kepahlawanan).
Bentuk
wiracarita ternyata sangat terkenaldi Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata.
Kemudian timbul wiracarita hasil gubahan dari para pujangga Indonesia.
Misalnya, Baratayuda yang digubah oleh
Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Juga munculnya cerita-cerita Carangan. Berkembangnya
karya sastra terutama yang bersumber dari Mahabarata dan Ramayana, melahirkan
seni pertunjukan wayang kulit (wayang purwa). Pertunjukan wayang kulit di
Indonesia, khususnya di Jawa sudah begitu mendarah daging. Isi dan cerita pertunjukan
wayang banyak mengandung nilai-nilai yang bersifat edukatif (pendidikan).
Cerita dalam pertunjukan wayang berasal dari asli dari Indonesia.
Seni
pahat dan ragam luas yang ada pada wayang disesuaikan dengan seni di Indonesia.
Di samping bentuk dan ragam hias wayang, muncul pula tokoh-tokoh pewayangan
yang khas Indonesia. Misalnya tokohtokoh punakawan seperti Semar, Gareng, dan
Petruk. Tokoh tokoh ini tidak ditemukan di India. Perkembangan seni sastra yang
sangat cepat didukung oleh penggunaan huruf pallawa, misalnya dalam karya-karya
sastra Jawa Kuno. Pada prasasti-prasasti yang ditemukan terdapat unsur India
dengan unsur budaya Indonesia. Misalnya, ada prasasti dengan huruf Nagari
(India) dan huruf Bali Kuno (Indonesia).
4.
Sistem Kepercayaan
Sejak
masa praaksara, orang-orang di Kepulauan Indonesia sudah mengenal simbol-simbol
yang bermakna filosofis. Sebagai contoh, kalau ada orang meninggal, di dalam
kuburnya disertakan benda-benda. Di antara benda-benda itu ada lukisan seorang
naik perahu, ini memberikan makna bahwa orang yang sudah meninggal rohnya akan
melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan yang membahagiakan yaitu alam baka..
Masyarakat
waktu itu sudah percaya adanya kehidupan sesudah mati, yakni sebagai roh halus.
Oleh karena itu, roh nenek moyang dipuja oleh orang yang masih hidup
(animisme). Setelah masuknya pengaruh India kepercayaan terhadap roh halus
tidak punah. Misalnya dapat dilihat pada fungsi candi. Fungsi candi atau kuil
di India adalah sebagai tempat pemujaan. Di Indonesia, di samping sebagai tempat
pemujaan, candi juga sebagai makam raja atau untuk menyimpan abu jenazah raja
yang telah meninggal. Itulah sebabnya peripih tempat penyimpanan abu jenazah
raja didirikan patung raja dalam bentuk mirip dewa yang dipujanya. Ini jelas
merupakan perpaduan antara fungsi candi di India dengan tradisi pemakaman dan
pemujaan roh nenek moyang di Indonesia. Bentuk bangunan lingga dan yoni juga
merupakan tempat pemujaan terutama bagi orang-orang Hindu penganut Syiwaisme.
Lingga adalah lambang Dewa Syiwa. Secara filosofis
lingga
dan yoni adalah lambang kesuburan dan lambang kemakmuran. Lingga
lambang
laki-laki dan yoni lambang perempuan.
5.
Sistem Pemerintahan
Setelah
datangnya pengaruh India di Kepulauan Indonesia, dikenal adanya sistem
pemerintahan secara sederhana. Pemerintahan yang dimaksud adalah semacam
pemerintah di suatu desa atau daerah tertentu. Rakyat mengangkat seorang
pemimpin atau semacam kepala suku. Orang yang dipilih sebagai pemimpin biasanya
orang yang sudah tua (senior), arif, dapat membimbing, memiliki
kelebihan-kelebihan tertentu termasuk dalam bidang ekonomi, berwibawa, serta
memiliki semacam kekuatan gaib (kesaktian). Setelah pengaruh India masuk, maka
pemimpin tadi diubah menjadi raja dan wilayahnya disebut kerajaan. Hal ini
secara jelas terjadi di Kutai. Salah satu bukti akulturasi dalam bidang
pemerintahan, misalnya seorang raja harus berwibawa dan dipandang memiliki
kekuatan gaib seperti pada pemimpin masa sebelum Hindu-Buddha. Karena raja
memiliki kekuatan gaib, maka oleh rakyat raja dipandang dekat dengan dewa. Raja
kemudian disembah, dan kalau sudah meninggal, rohnya dipuja-puja.
PENGARUH
MASUKNYA BUDAYA HINDU BUDHA TERHADAP PERKEMBANGAN BUDAYA DI INDONESIA
1.
Reaksi Bangsa Indonesia Terhadap Masuknya Budaya Dari India
Masuknya
budaya dari India baik yang bercorak Hindu maupun Budha tidak terlepas dari
terjadi perubahan jalur lalu lintas pelayaran dagang antara India dengan Cina.
Pada awalnya para pedagang baik dari India ke Cina maupun sebaliknya
menggunakan jalan darat atau yang dikenal dengan jalan sutera (The Silk Road).
Namun, pada sekitar abad ke satu mereka mengalihkan rute perjalanan menjadi
melalu jalur laut.
Beberapa
faktor yang mengakibatkan para pedagang memindahkan jalur perdagangnya adalah:
a. Faktor
keamanan, yang tidak menjamin keselamatan para pedagang dari perampok-perampok
yang menghadang mereka ditengah perjalanan,
b. faktor
waktu tempuh yang lama akibat kontur jalan darat yang mendorong mereka untuk
menuruni lembah, mendaki bukit dan memasuki hutan, dan
c. Faktor
biaya akibat mereka harus menempuh perjalanan yang lama mengakibatkannbiaya
yang harus mereka keluarkan juga lebih besar.
Dengan
menggunakan jalan laut maka, jalan terdekat bagi pedagang India yang akan ke
Cina maupun sebaliknya adalah dengan melewati perairan Indonesia yaitu dengan menyusuri
tepian pantai teluk Benggala, melewati Kepulauan Andaman kemudian masuk perairan
selat Malaka, sampailah mereka di Indonesia untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan
keluar dari Selat Malaka dan masuk ke Laut Cina Selatan maka sampailah mereka
di Cina, demikian pula sebaliknya. Sehingga hal tersebut menunjukan bahwa besar
kemungkinan budaya dari India baik yang bercorak Hindu maupun Budha itu sudah
ada di Indonesia sejak awal abad 1 Masehi, hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya Patung Budha di Bukit Siguntang, di Sempaga maupun di di Jember.
Penemuan patung Budha tersebut tentu mengandung arti:
v Pernah
ada sekelompok orang pada abad 2 yang membawa arca Budha ke Indonesia
v Sekelompok
orang tersebut telah berbudaya Budha
v Pada
saat itu budaya Budha telah masuk ke Indonesia, namun belum berkembang.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia membawa
perubahan signifikan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Namun, perlu
kalian ketahui bahwa tidak semua unsur budaya dari India yang masuk ke
Indonesia itu diterima begitu saja oleh bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia
menyeleksinya terlebih dahulu disesuaikan dengan adat istiadat dan kepandaian
yang sudah dimiliki.
Masuknya
para pedagang India tersebut tentu dengan membawa seluruh akal budaya dan
kepandaian mereka. Hal tersebut membuat terjadilah proses interaksi mereka dengan
masyarakat di Nusantara. Interaksi yang terjadi bersifat akulturasi yaitu bertemunya
dua unsur kebudayaan yang dapat hidup saling berdampingan serta saling
mengisi
tanpa menghilangkan unsur unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut.
Terjadinya
akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan India adalah karena
kebudayaan Hindu – Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja oleh
bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan:
1) Masyarakat
Indonesia telah memiliki dasar dasar kebudayaan yang cukup tinggi, sehingga
masuknya kebudayaan asing menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia.
2) Masyarakat
Indonesia memiliki kecakapan istimewa yang disebut local genius,
yaitu
kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur unsur tersebut sesuai
kepribadiannya.
Pembicaraan
mengenai pengaruh budaya Hindu Budha di Indonesia perlu bagi kita untuk membedakan antara Proses Masuk dengan
Proses Perkembangannya. Hal ini disebabkan untuk bisa berkembangnya sebuah
kebudayaan baru tentu membutuhkan waktu yang panjang, tidak cukup setahun atau
dua tahun saja, akan tetapi dapat memakan waktu beberapa abad. Tahukah kalian
mengapa demikia?. Karena untuk mengganti sebuah kebudayaan yang sudah berurat
akar seperti halnya kebudayaan nenek moyang dalam kehidupan masyarakat
Nusantara tentu tidaklah mudah. Dibutuhkan proses mulai dari masuknya budaya
tersebut, proses pengenalan (sosialisasi), baru sampai pada proses budaya baru
tersebut diterima, itupun tidak langsung berkembang sehingga berwujud terbentuknya
sebuah kerajaan. Adanya petunjuk di sebuah wilayah terdapat sebuah kerajaan
dengan corak budaya tertentu dapat menjadi indikasi bahwa budaya tersebut sudah
berkembang.
2.
Wujud Akulturasi Budaya India Dengan Budaya Indonesia
Akulturasi
kebudayaan adalah suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang
satu dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru.
Kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan
kepribadian atau ciri khasnya. Oleh karena itu, untuk dapat berakulturasi, masing-masing
kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan HinduBuddha dari India
dengan kebudayaan Indonesia asli.
Contoh
hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan kebudayaan asli Indonesia
sebagai berikut:
a.
Seni Bangun
Wujud
akulturasi : Candi
Masuknya
budaya dari India dalam seni bangun tidak diterima begitu saja oleh bangsa
Indonesia disebabkan sebelum masuknya budaya dari India tersebut dalam bidang
seni bangun bangsa Indonesia sudah menguasai tekhnik seni bangun yang cukup
tinggi, terutama pada jaman Megalithikum, hal itu dapat dilihat dari adanya
perbedaan bentuk seni bangun candi di Indonesia dengan candi di India, perbedaan
tersebut meliputi:
Ø Bentuk candi di India dan negara negara lain pada umumnya hanya berupa stupa saja, sedangkan pada candi di Indonesia, terdapat tangga tangga untuk sampai ke puncak candi yang merupakan unsur budaya Indonesia berupa punden berundak dari masa Megalithikum. Jadi bentuk candi di Indonesia merupakan perpaduan antara stupa dari India dengan punden berundakundak dari Indonesia di masa Megalithikum
Ø Fungsi Candi di India adalah sebagai tempat ibadah , sedangkan Indonesia selain sebagai tempat beribadah juga sebagai tempat menyimpan abu jenazah Raja yang dipengaruhi oleh Konsep Dewa Raja
b.
Seni Rupa/lukis
Masuknya
pengaruh India juga membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat dan
seni ukir. Hal ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan
pada bagian dinding candi. Misalnya, relief yang dipahatkan pada dinding pagar
langkan di candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat sang Budha. Di sekitar
sang Budha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah panggung dan burung
merpati.
c.
Seni Pertunjukan
Wujud
akulturasi : Pertunjukan Wayang
Siapa
diatara kalian yang pernah menonton seni pertunjukan wayang, menarik bukan?
Tahukah
kalian bahwa wayang adalah seni pertunjukan asli Indonesia sebelum masuknya
budaya dari India?
Wayang
adalah salah satu unsur budaya asli Indonesia, sebelum datangnya budaya India
ceritanya adalah cerita asli Indonesia dengan tokoh tokoh pewayangan yang sudah
sangat dikenal masyarakat seperti Semar, Petruk, Gareng dan lain lain, Tokoh
tokoh tersebut adalah hasil kreasi dari local genius masyarakat Indonesia dan
dibuat untuk menambah rasa lokal dalam cerita pewayangan. Terutama di dalam
pewayangan Jawa banyak sekali lakon yang sudah cukup akrab di telinga
masyarakat Jawa. Sedangkan setelah masuknya budaya dari India ceritanya mengambil cerita India seperti
Ramayana dan Mahabrata dengan tokoh Rama, Shinta, Gatotkaca, Bima, Basudewa dan
lain lain.
Banyak
yang beranggapan bahwa cerita kepahlawanan (epos) Ramayana dan Mahabrata
berasal asli dari tanah pulau Jawa, namun kedua epos tersebut sejatinya asli
merupakan unsur budaya India. Selain itu, gamelan yang mengiringi music dalam
sebuah pertunjukan wayang menggunakan peralatan asli unsur budaya Indonesia
dari jaman logam
Wujud
akulturasi : Sistem pemerintahan berbentuk kerajaan
Sebelum
datangnya budaya India, sistem pemerintahan di Indonesia adalah pemerintahan
dalam lingkup suku yang dikepalai oleh seorang kepala suku. Kehidupan manusia
pada masa bercocok tanam mengalami peningkatan yang cukup pesat. Masyarakat
telah memiliki tempat tinggal yang tetap.
Dalam
perkembangannya, pola hidup menetap telah membuat hubungan social masyarakat
terjalin dan terorganisasi dengan lebih baik. Dalam perkumpulan masyarakat yang
walaupun masih sangat sederhana ini dibutuhkan keberadaan keberadaan seorang
pemimpin yang mengatur kehidupan Bersama yang telah tersusun, pemipin tersebut
adalah seorang kepala Suku. Pemilihan kepala suku dilakukan dengan menggunakan
sistem primus inter pares yang utama diantara yang lain, syarat-syarat untuk
menjadi kepala suku di antaranya harus memiliki kesaktian, kewibawaan, dan
memiliki jiwa keperwiraan.
Setelah
datangnya budaya dari India kepala suku tersebut menjadi Raja dan terbentuklah
sistem pemerintahan kerajaan, akibatnya sistem pemerintahan kerajaan di
Indonesia menjadi tidak persis sama dengan sitem pemerintahan kerajaan di
India. Jika di India raja hanya dianggap sebagai seseorang yang memilki kekuasaan
dan kekuatan, maka raja raja di Indonesia selain dianggap sebegai seseorang
yang memilki kekuasaan dan kekuatan, lebih dari itu raja di Indonesia juga
dianggap memiliki kesaktian bahkan disamakan kedudukannya seperti dewa. Pandangan
tersebut mendorong munculnuya konsep Dewa Raja, yaitu raja raja di Indonesia
disamakan kedudukannya seperti Dewa.
e.
Sistem Kepercayaan
Wujud
akulturasi : Kepercayaan Hindu - Budha
Sebelum
datangnya budaya dari India, dalam hal kepercayaan bangsa Indonesia sudah
memiliki kepercayaan Animisme yaitu kepercayaan kepada arwah nenek moyang yang
dianggap tetap hidup dan memiliki kekuatan gaib. Selain itu nenek moyang bangsa
Indonesia juga memilki kepercayaan Dinamisme yaitu kepercayaan kepada benda
benda yang dianggap memeilki kekuatan gaib. Setelah masuk budaya dari India,
terjadilah percampuran yang berwujud
Ø Kepercayaan Hindu – Budha yang masuk ke Indonesia tidak persis sama seperti yang berkembang di India, melainkan kepettrcayaan tersebut berpadu dengan kepercayaan yang sudah berkembang sebelumnya di Indonesia salah satunya Animisme, seperti pada wujud candi Borobudur , yaitu dengan meletakan stupa di puncak punden berundak undak yang dianggap sebagai tempat suci dalam sistem kepercayaan animism.
Ø Di India, Raja adalah Raja yang memimpin dalam sebuah pemerintahan, namun raja raja di Indonesia Raja bukan hanya sekedar pemeimpin dalam sebuah pemerintahan, melainkan raja raja di Indonesia juga dipandang seperti Dewa.
Dewaraja
adalah konsep Hindu-Buddha yang memuja dan menganggap raja memiliki sifat
kedewaan, bentuk pemujaan ini berkembang di Asia Tenggara. Konsep ini terkait
dengan sistem monarki yang menganggap raja memiliki sifat illahiah, sebagai
dewa yang hidup di atas bumi, sebagai titisan dewa tertinggi, biasanya
dikaitkan dengan Siwa atau Wishnu.
Secara
politik, gagasan ini dilihat sebagai suatu upaya pengesahan atau justifikasi
kekuasaan raja dengan memanfaatkan sistem keagamaan. Konsep ini mencapai bentuk
dan wujudnya yang paling canggih di Jawa dan Kamboja, dimana monumen-monumen
agung seperti Prambanan dan Angkor Wat dibangun untuk memuliakan raja di atas
bumi.
Dalam
bahasa Sanskerta istilah Dewa-Raja dapat bermakna "raja para dewa" atau
"raja yang juga (titisan) dewa". Dalam masyarakat Hindu, jabatan dewa
tertinggi biasanya disandang oleh Siwa, terkadang Wisnu, atau sebelumnya Indra.
Kerajaan langit tempat para dewa bersemayam di swargaloka merupakan bayangan kerajaan
fana di atas bumi, konsep ini memandang raja sebagai dewa yang hidup di muka
bumi. Silahkan kalian simak terjemahan isi Prasasti Ciaruteun berikut ini:
“Inilah
tanda sepasang kaki seperti kaki Dewa Wisnu (pemelihara)ialah telapak yang mulia
sang Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia “. Apa
yang tergambar dalam prasasti dari Kerajaan Tarumanegara itu bukan satu-satunya
yang menggambarkan penyebutan raja seperti dewa. Pada masa kuno, umum terjadi
jika seorang pemimpin, yaitu raja, dipuja bagai penjelmaan dewa.. Seperti yang
terdapat pada sebuah Arca yang menggambarkan Raja Airlangga sedang menunggangi
Garuda yang dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu.
f. Sistem
Penanggalan
Wujud
akulturasi : Penggunaan Tahun Saka
Penggunaan
Kalender saka di Indonesia dimodifikasi dengan unsur unsur penaggalan lokal
terutama di Jawa dan Bali,seperti penggunaan Candra Sangkala atau kronogram
dalam memperingati sebuah Peristiwa. Candra Sangkala adalah tanda atau
penulisan tahun dalam bentuk sandi (perlambang) biasanya diwujudkan dalam
bentuk untaian kalimat agar mudah diingat. Berbagai peristiwa yang diberi
sengkalan bermacam macam, diantaranya : berdirinya sebuah kerajaan, runtuhnya
kerajaan, meninggalnya raja dari suatu kerajaan, tahun pembuatan karya sastra
dll.
Contoh
:
Tahun
runtuhnya kerajaan Majapahit :Sirna Ilang Kertaning Bumi
Sirna
: 0 Ilang : 0 Kerta : 4 Bumi : 1
Jadi
angkanya: 0041, membacanya dari belakang menjadi 1400 + 78 (tahun saka
dimulai
tahun 78 M) = 1478
g.
Sistem Huruf
Wujud
: Huruf Pallawa
Berbeda
dengan unsur budaya lain dimana sebelum masuknya budaya dari India unsur budaya
tersebut sudah dimiliki atau sudah dikuasai oleh bangsa Indonesia, sehingga
proses interaksi yang terjadi adalah interaksi yang bersifat akulturasi. Maka tidak
demikian yang terjadi dalam kebudayaan menulis atau sistem huruf.
KERAJAAN
KERAJAAN HINDU BUDHA TERTUA DI INDONESIA
1.
Kerajaan Kutai
A.
Letak Geografis
Letak
kerajaan Kutai diperkirakan berada di daerah Muarakaman di tepi sungai Mahakam,
Kalimantan Timur. Sungai tersebut adalah sungai yang cukup besar dan memiliki
beberapa anak sungai. Lokasi pertemuan antar sungai Mahakam dengan anak sungainya
diperkirakan adalah letak Muarakaman di masa lampau. Sungai Mahakam dapat
dilayari dari pantai hingga masuk ke Muarakaman, sehingga sangat strategis
untuk menjadi jalur perdagangan. Kemungkinan besar, itulah penyebab orang-orang
dari tanah India telah hadir di sana meskipun Kutai tidak berada di jalur
internasional yang telah diketahui khalayak dunia.
Letak
geografis Kerajaan Kutai berada pada jalur perdagangan antara Cina dan India.
Kerajaan Kutai menjadi tempat yang menarik untuk disinggahi para pedagang. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa kegiatan perdagangan telah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat Kutai, disamping pertanian. Letak geografis Kerajaan Kutai yang
berada menjorok ke daerah pedalaman, menyebabkan Kutai menjadi tempat yang
menarik sebagai persinggahan bagi para pedagang dari Cina dan India.
B.
Awal Terbentuknya
Kerajaan
Kutai pertama ini bernama Kerajaan Kutai Martadipura awal berdirinya dipimpin
oleh Maharaja Kudungga bergelar anumerta Dewawarman. Nama Maharaja Kundungga
ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh budaya
lain.
C.
Sumber Sejarah
Prasasti
Kutai
Keberadaan
kerajaan Kutai diketahui berdasarkan sumber berita yang ditemukan yaitu berupa
prasasti yang berbentuk yupa (tiang) batu berjumlah 7 buah. Prasasti Yupa ini berangka
tahun 475 M (abad 5) dapat dikatakan merupakan prasasti tertua diantara
prasasti prasasti yang ditemukan di Indonesia sehingga sering dijadikan sebagai
acuan awal masuknya bangsa Indonesia ke dalam jaman sejarah. Prasasti ini
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa sansekerta.
Dari
ke tujuh buah Yupa tersebut, baru tiga buah Yupa yang dapat dibaca, yaitu:
a)
Berisi silsilah:
“Sang
Mahārāja Kundungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, Sang Aśwawarmman
namanya, yang seperti Angśuman (dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat
mulia. Sang Aśwawarmman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci). Yang
terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mūlawarmman, raja yang berperadaban
baik, kuat, dan kuasa. Sang Mūlawarmman telah mengadakan kenduri (selamatan
yang dinamakan) emasamat-banyak. Untuk peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu
batu ini didirikan oleh para brahmana.”
b)
Tempat sedekah:
“Sang
Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka telah memberi sedekah 20.000 ekor
lembu kepada para Brahmana di tempat tanah yang sangat suci “Waprakeswara”.”
c)
Masa Kejayaan :
“Yang
terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mūlawarmman, raja yang berperadaban
baik, kuat, dan kuasa. Sang Mūlawarmman telah mengadakan kenduri (selamatan
yang dinamakan) emas-amat-banyak. Untuk peringatan kenduri (selamatan) itulah
tugu batu ini didirikan oleh para Brahmana”
Keterangan
yang di dapat dari Prasasti Yupa ini adalah:
ü Silsilah
Raja raja kerajaan Kutai, menunjukan pada abad 5 di Indonesia telah berdiri
sebuah Kerajaan yaitu Kerajaan Kutai.
ü Dilihat
dari namanya, Kudungga masih berbudaya Indonesia asli sehingga belum memilki
kasta.
ü Budaya
India baru masuk ke Kutai pada masa pemerintahan Raja Aswawarman.
ü Pendiri
Kerajaan adalah Kudungga, dan pendiri Dinasti adalah Aswawarman.
D.
Corak Kebudayaan dan Kepercayaan
Kepercayaan
yang berkembang pada masyarakat Kutai adalah Hindu, hal tersebut
didasarkan
pada keterangan yang terdapat pada Prasasti Kutai, Yaitu:
ü Raja
Aswawarman pernah mengadakan upacara Vratyastoma yaitu upacara pensucian diri
untuk pengakuan Kasta, Kasta adalah system pelapisan Sosial pada masyarakat
Hindu.
ü Raja
Mulawarman kerap mengadakan upacara diatas sebidang tanah
ü Wavrakesywara
yaitu tanah suci yang dipersembahkan untuk Dewa Syiwa, salah satu dewa dalam
agama Hindu.
ü Raja
Mulawarman kerap mengadakan selamatan dengan mempersembahkan 20.000 ekor sapi
kepada para Brahmana yang merupakan binatang yang disucikan oleh umat Hindu,
Kaum Brahmana adalah salah satu kasta umat Hindu.
üTetapi
di luar golongan brahmana dan ksatria, sebagian besar masyarakat Kutai masih
menjalankan adat istiadat dan kepercayaan asli mereka. Jadi, walaupun Hindu
telah menjadi agama resmi kerajaan, masih terdapat kebebasan bagi masyarakatnya
untuk menjalankan kepercayaan aslinya.
E.
Sistem Ekonomi
Kehidupan
ekonomi di kerajaan Kutai tergambar dalam salah satu Yupa dalam prasasti Kutai,
yang isinya, seperti berikut ini: “(Tugu ini ditulis untuk (peringatan) dua
(perkara) yang telah disedekahkan oleh sang Mulawarman yakni segunung minyak,
dengan lampu dan malai bunga)”
Berdasarkan
isi salah satu Yupa tersebut dapat disimpulkan beberapa kegiatan ekonomi yang
dikembangkan masyarakat Kutai yaitu antara lain:
a) Pertanian
Adanya
minyak dan bunga malai, kita dapat menyimpulkan bahwa sudah ada usaha dalam
bidang pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Kutai.
b) Kerajinan
dan Pertukangan
Lampu-lampu
seperti yang disebutkan dalam Prasasti Tugu dihasilkan dari usaha dibidang
kerajinan dan pertukangan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua bidang usaha
tersebut sudah berkembang di lingkungan masyarakat Kutai
c) Pertanian
dan Perdagangan
“Mulawarman,
raja yang mulia dan terkemuka telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada
para Brahmana yang seperti api. Bertempat didalam tanah yang sangat suci
Waprakeswara, buat peringatan akan kebaikan didirikan Tugu ini)” Kehidupan
ekonomi yang dapat disimpulkan dari prasasti tersebut adalah keberadaan sapi
yang dipersembahkan oleh Raja Mulawarman kepada Brahmana. Keberadaan sapi
menunjukkan adanya usaha peternakan yang dilakukan oleh rakyat Kutai.
Arca-arca
yang ditemukan oleh para arkeolog menunjukkan bahwa arca tersebut
bukan
berasal dari Kalimantan, tetapi berasal dari India. Selain itu letak geografis Kerajaan
Kutai berada pada jalur perdagangan antara Cina dan India. Kerajaan Kutai
menjadi
tempat yang menarik untuk disinggahi para pedagang. Hal tersebut memperlihatkan
bahwa kegiatan perdagangan telah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat
Kutai, disamping pertanian.
F.
Sistem Pemerintahan
Sejak
muncul dan berkembangnya pengaruh Hindu (India) di Kalimantan Timur, terjadi
perubahan dalam bentuk pemerintahan, yaitu dari pemerintahan suku dengan kepala
suku yang memerintah menjadi kerajaan dengan seorang raja sebagai kepala
pemerintahan.
Dalam
sistem kerajaan, raja dianggap keturunan dewa yang harus disembah oleh bawahan
dan rakyatnya. Oleh karena itu raja memiliki hak untuk menyelenggarakan pemerintahan
secara mutlak dan turun – temurun berdasarkan garis kasta.
Berikut
beberapa raja yang pernah memerintah Kerajaan Kutai:
1.
Raja Kudungga
Merupakan
raja pertama yang berkuasa di kerajaan kutai. Diperkirakan Kudungga masih
berbudaya Indonesia dan pengaruh Hindu baru masuk ke wilayahnya. Dari namanya, para ahli
memperkirakan bahwa ia sama sekali tidak memeluk Hindu. Barulah putranya atau
kemungkinan menantunya yang Bernama Aswawarman yang menjadi seorang Hindu.
Kedudukan Raja Kudungga pada awalnya adalah kepala suku. Dengan masuknya
pengaruh Hindu, ia mengubah struktur pemerintahannya menjadi kerajaan dan
mengangkat dirinya sebagai raja, sehingga penggantian raja dilakukan secara
turun temurun.
2.
Raja Aswawarman
Jika
pada masa Kudungga belum menganut Hindu maka barulah pada masa putranya (atau
kemungkinan menantunya) yang bernama Aswawarman yang menjadi seorang Hindu.
Dengan melalaui upacara vratyastoma, Di tanah Hindustan, upacara ini bertujuan
memupus hukuman kepada seseorang yang membuatnya dikeluarkan dari kasta. Namun,
dalam konteks kerajaan Kutai, para ahli menduga tujuan vratyastoma sedikit
berbeda. Yaitu sebagai daerah yang baru menerima pengaruh Hindu, upacara
tersebut ditujukan sebagai penanda seseorang memeluk Hindu sekaligus masuk
kasta. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kutai diperluas lagi. Hal
ini dibuktikan dengan dilakukannya Upacara Asmawedha pada masanya. Dalam
upacara itu dilaksanakan pelepasan kuda dengan tujuan untuk menentukan batas
kekuasaan Kerajaan Kutai.
3.
Raja Mulawarman
Merupakan
anak dari Raja Aswawarman yang menjadi penerusnya. Raja Mulawarman adalah raja
terbesar dari Kerajaan Kutai dan banyak disebut dalam Prasasti Kutai karena
besar kemungkinan Prasasti Kutai dibuat pada masa pemerintahannya.
G.
Masa Keruntuhan
Didalam
sejarah disebutkan bahwa Kerajaan Kutai runtuh saat raja Kerajaan Kutai terakhir
yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13,
Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Kerajaan Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi
Kerajaan Islam yang bernama Kesultanan Kutai Kartanegara.
Kutai
Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam. Sejak tahun 1735 kerajaan
Kutai
Kartanegara yang semula rajanya bergelar Pangeran berubah menjadi bergelar Sultan
(Sultan Aji Muhammad Idris) dan hingga sekarang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.
2.
Kerajaan Tarumanegara
A.
Letak Geografis
Menurut
para ahli arkeolog, letak Kerajaan Tarumanegara berada di Jawa Barat di tepi
Sungai Cisadane, yang saat ini merupakan wilayah Banten. Kerajaan Tarumanegara berpusat
di Sundapura, yang saat ini dikenal sebagai Bekasi. Wilayah kekuasan Kerajaan Tarumanegara
hampir meliputi seluruh wilayah Jawa Barat dan Banten. Bahkan, Kerajaan
Tarumanegara juga memiliki pengaruh besar pada kerajaan yang ada di Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
Mengenai letak ibukota Tarumanegara dengan keratonnya masih belum bisa dipastikan. Tetapi berdasarkan ilmu Bahasa Prof Dr. Poerbatjaraka memperkirakan bahwa letak Keraton Taruma itu di daerah Bekasi. Hal tersebut berdasarkan keterangan yang terdapat pada Prasasti Tugu tentang penggalian Sungai Chandrabaga yang alirannya melewati istana sebelum sampai ke laut,dengan alasan bahwa Sungai Chandrabhaga adalah dalam bahasa sansakerta, sementara dalam bahasa Indonesia menjadi Bhaga Candra, Candra yang dalam bahasa Indonesia adalah bulan, dalam bahasa sunda adalah sasih, sehingga Bhaga Candra menjadi Bhagasasih, yang lambat laun berubah menjadi Bekasi.
Di daerah Bekasi sendiri, sejak tahun-tahun yang lalu telah ditemukan alat-alat prasejarah seperti pahat dan kapak batu serta pecahan-pecahan periuk. Kecuali bendabenda prasejarah juga terdapat benda-benda yang sudah masuk masa-masa jauh setelah zaman Batu-Baru dan Perunggu Besi. Tidak jauh dari Bekasi yakni di Cibuaya, Rengasdengklok pada tahun 1952 pernah ditemukan area Wishnu yang usianya kurang lebih dari abad ke-7, dimungkinkan area tersebut berasal dari masa Tarumanegara.
Berdasarkan
naskah wangsakerta Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman
pada tahun 358. Rajadirajaguru Jayasingawarman merupakan seorang Maharesi atau
Pendeta dari Salankayana di India, dia mengungsi ke Nusantara karena kerajaan
tempat asalnya ditaklukan Kerajaan Magadha. Dalam naskah itu, dikatakan pada
abad ke-4 Masehi nusantara didatangi oleh sejumlah pengungsi dari India yang
mencari perlindungan akibat terjadi peperangan besar di sana. Umumnya pengungsi
tersebut berasal dari daerah kerajaan Palawa dan Calankaya di India. Salah satu
rombongan pengungsi tersebut dipimpin oleh seorang Maharesi yang bernama
Jayasingawarman. Ketika telah mendapatkan persetujuan dari raja Dewawarman
VIII, raja Salakanagara maka mereka membangun tempat pemukiman baru di dekat
sungai Citarum. Pemukiman tersebut disebut Tarumadesya (desa Taruma).
Sepuluh
tahun berjalan ternyata desa ini banyak didatangi oleh orang-orang, sehingga
Tarumadesya menjadi besar. Pada akhirnya wilayah yang hanya setingkat desa tersebut
berkembang menjadi kota (nagara). Diduga bahwa nama asli kerajaan Taruma adalah
kerajaan Aruteun. Hal ini sesuai dengan catatan sejarah Cina, bahwa negeri
Ho-lotan (Aruteun) di She-po (Jawa) telah mengirimkan utusan ke Cina pada tahun
430, 437, dan 452 masehi. Setelah mendapat pengaruh budaya India, nama Aruteun
diubah menjadi Taruma. Nama Taruma ini diambil dari nama daerah di India
Selatan. Perubahan nama ini diperkirakan terjadi pada akhir abad ke-5 masehi.
Sejak abad ke-6 masehi, nama Ho-lotan (Aruteun) tidak disebut-sebut lagi.
Sebagai gantinya muncul nama To-lo-mo (Taruma) yang pernah mengirimkan utusan
ke Cina pada tahun 528, 535, 630, dan 669 masehi.
C.
Sumber Sejarah
Keterangan
tentang kerajaan Tarumanegara didapat dari beberapa sumber baik
dari
dalam maupun luar negeri, diantaranya:
a.
Sumber Dalam Negeri:
Berupa
prasasti yang ditemukan di tempat-tempat berbeda namun tidak terlalu jauh satu
sama lain. Berikut adalah beberapa prasasti peninggalan kerajaan Tarumanegara
1.
Prasasti Ciaruteun
Pada
prasasti ini ditemukan ukiran laba-laba dan telapak kaki serta sajak beraksara
palawa dalam Bahasa Sanskerta. Berdasarkan pembacaan oleh Poerbatjaraka dalam
prasasti ini berbunyi:
“Ini
(bekas) dua kaki, yang seperti kaki Dewa Wisnu, ialah kaki Yang Mulia Sang
Purnavarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah
berani
di dunia”.
2.
Prasasti Jambu (Koleangkak)
Seperti
namanya, prasasti ini ditemukan di kawasan perkebunan jambu, bukit Pasir Koleyangkak,
Leuwiliang, Kabupaten Bogor atau 30 Km setelah bagian barat Bogor. Prasasti ini
juga disebut Prasasti Koleangkak atau Pasir Jambu. Isi dari tulisan yang dituliskan
dalam prasasti pasir jambu adalah sebagai berikut:
“Gagah,
mengagumkan, dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang tiada
taranya, yang termashur Sri Purnawarman, yang sekali waktu (memerintah) di
Taruma dan baju zirahnya yang terkenal (warman). Tidak dapat ditembus senjata
musuh. Ini adalah sepasang tapak kakinya yang senantiasa berhasil menggempur
kota-kota musuh, hormat kepada pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging
bagi musuh-musuhnya.”
Dapat
disimpulkan bahwa isinya adalah:
“Tapak
kaki ini adalah tapak kaki Sri Purnawarman raja Tarumanegara. Baginda
termasyhur gagah berani, jujur dan setia menjalankan tugasnya, dan tak ada
taranya. Baginda selalu berhasil membinasakan musuh-musuhnya. Baginda hormat kepada
para pangeran tetapi sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya, serta melindungi
mereka yang memberikan bantuan kepadanya”.
3.
Prasasti Pasir Awi
Ditemukan
di Pasir Awi , Bogor. Dalam prasasti ini juga terdapat gambar telapak kaki dan
tulisan ikal. Namun, sayangnya isi dari prasasti ini belum dapat disimpulkan
oleh para ahli
4.
Prasasti Kebun Kopi
Prasasti
kebun kopi ditemukan di kampung Muara Hilir, Cibungbulan, Bogor. Isinya tidak
terlalu banyak, berikut adalah isi dari prasasti kebun kopi.
“Di
sini nampak sepasang tapak kaki… yang seperti Airwata, gajah penguasa taruma
(yang) agung dalam … dan (?) kejayaan.”
Sumber
lain mengungkapkan bahwa Isinya, dapat pula disimpulkan menjadi:
“Telapak
kaki seperti telapak kaki airawata. Airawata adalah gajah kendaraan dewa Indra.
Inilah telapak kaki penguasa negara Taruma yang agung.”
Didalamnya
juga diperkirakan dideskripsikan mengenai kejayaan kerajaan Taruma atau Tarumanegara/Tarumanagara.
5.
Prasasti Muara Cianten
Prasasti
ini ditemukan di Muara Cianten, Bogor. Prasasti ini memiliki kemiripan dengan
Prasasti Awi (memiliki gambar telapak kaki dan tulisan ikal). Namun, tulisan
atau isinya belum dapat disimpulkan oleh para Ahli.
6.
Prasasti Tugu
Prasasi
ini ditemukan di Tugu, daerah Cilincing, DKI Jakarta dekat perbatasan dengan
daerah Bekasi. Isinya menyebutkan:
“Dahulu
sungai yang bernama candra bhaga telah (disuruh) gali oleh Maharaja Purnamarwan.
Maharaja yang mulia mempunyai lengan yang kuat. Setelah sampai ke istana
kerajaan yang termasyhur, sungai dialirkan ke laut. Di dalam tahun ke-22 dari
takhta yang mulia raja Purnawarman yang gemerlapan karena kepandaian dan
kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji dari segala rajaraja. Baginda
memerintahkan pula, menggali sungai yang permai bersih jernih yang bernama
gomati setelah sungai itu mengalir di tempat kediaman yang mulia Nenekda sang
pendeta (sang Purnawarman).
Prasasti Tugu
Pekerjaan
ini dimulai pada hari yang baik tanggal 8 paro petang bulan Phalguna dan
selesai pada tanggal 13 paro terang bulan Caitra, hanya 21 hari saja sedang
galian itu panjangnya 6122 tumbak. Upacara (selamatan) itu dilakukan oleh para
Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dikorbankan.”
Diduga,
penggalian untuk membuat sungai tersebut dilakukan untuk mengendalikan banjir
dan membantu usaha pertanian yang diperkirakan berada di wilayah Jakarta saat
ini. Sungai tersebut adalah sungai Candrabaga. Penyebutan Brahmana yang
merupakan kasta tertinggi dalam kepercayaan Hindu dan bertugas mempin upacara
dalam ritual ajaran Hindu, serta persembahan 1000 ekor sapi yang merupakan
binatang suci dalam ajaran Hindu. Ke dua hal tersebut memberi petunjuk bahwa
kerajaan Tarumanegara berbudaya Hindu
7.
Prasasti Lebak (Cidanghiang)
Prasasti
ditemukan di kampung Lebak, tepi sungai Cidanghiang, kecamatan Muncul,
kabupaten Pandeglang, Banten. Oleh karena itu, terkadang prasasti ini juga
disebut prasasti Cidanghiang atau prasasti Munjul. Dalam prasasti ini
disebutkan:
“inilah
tanda keperwiraan yang mulia Purnawarman. Baginda seorang raja yang agung
dan
gagah berani. Baginda seorang raja dunia dan menjadi panji sekalian raja”.
Prasasti
ini juga memuat batas-batas kerajaan Tarumanegara, yakni: sebelah barat
berbatasan dengan laut, sebelah selatan juga berbatas dengan laut, sebelah
timur dengan sungai Citarum dan sebelah utara dengan daerah Karawang.
8. Situs
Pasir Angin
Situs
ini terletak di Desa Cemplang, Kecamatan Cibungbulang berada pada bukit kecil
di sebelah utara daerah aliran sungai Cianten yang mengalir dari selatan ke
utara. Di bukit tersebut terdapat monolit setinggi 1,2 m. Di sini, ditemukan
berbagai artefak seperti: tembikar, porselin, kemarik dari bahan batuan,
artefak kaca, artefak perunggu, besi, dan emas. Salah satu artefak tersebut
adalah topeng emas.
b.
Sumber Luar Negeri
Sumber
sejarah Kerajaan Tarumanegara ternyata juga didapat dari berita musafir China
yang bernama Fa-Hien. Musafir yang datang di Jawa pada tahun 414 M membuat catatan
tentang adanya Kerajaan To-lo-mo. atau Taruma. Istilah To-lo-mo ini tentu dimaksudkan
pada kerajaan Tarumanegara.
Sumber
sejarah dari luar negeri didapatkan dari berita musafir China yang Bernama Fa-Hien.
Fa-Hien datang ke tanah Jawa pada tahun 414 M untuk membuat catatan mengenai
keberadaan kerajaan To-lo-mo. Kerajaan yang di maksud ternyata mengarah pada
kerajaan Tarumanegara. Dalam catatan Fa-Hien dikatakan bahwa dalam
perjalanannya
menuju India, ia singgah di Yo-p’o-ti dan berdiam di sana selama 5 bulan,
di
sana sedikit sekali pemeluk Budha. Sementara itu, dalam kronik dinasti Tang
(618-906) diungkapkan bahwa antara tahun 528-539 dan 666-669 telah datang di
Cina utusan dari Kerajaan To-lo-mo (Tarumanegara).
D.
Corak Kebudayaan dan Kepercayaan
Diperkirakan
setidaknya ada dua golongan dalam masyarakat. Pertama, golongan masyarakat yang
berbudaya Hindu, kelompok ini terbatas pada lingkungan keraton saja. Kedua,
golongan masyarakat yang berbudaya asli yang meliputi bagian terbesar penduduk
Tarumanegara, meskipun demikian, mereka tetap rukun berdasarkan berita dari
Fa-hsien, bahwa pada awal abad 5 M, di Tarumanegara terdapat tiga agama, yaitu
agama Buddha, Hindu dan agama yang kotor. Dari ketiga agama tersebut, agama
Hindu merupakan agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat, hal itu
diperkuat dengan adanya bukti-bukti prasasti dan arca.
Kesimpulannya,
agama yang dianut adalah:
ü Agama
Hindu seperti yang di anut Purnawarman,
ü Agama
Budha meskipun hanya sedikit, dan
ü Penganut
animisme dan dinamisme.
Berdasarkan
Prasasti Tugu, bahwa sebagai selamatan atas penggalian sungai Chandrabga, Raja
Purnawarman memberikan 1000 ekor sapi kepada para Brahmana. Sapi dan Brahmana
adalah petunjuk bahwa agama resmi kerajaan adalah Hindu.
E.
Sistem Ekonomi
a)
Perdagangan
Catatan
Fa-Hien,seoarang musafir Cina,masyarakat Tarumanegara sudah melakukan kegiatan
berdagang. Barang yg diperdagangkan antara lain beras dan kayu jati. Prasasti
tugu menyatakan bahwa raja Purnawarman memerintahkan rakyatnya untuk membuat
sebuah terusan sepanjang 6122 tombak. Pembangunan terusan ini mempunyai arti
ekonomis yang besar bagi masyarakat, karena dapat dipergunakan sebagai sarana
untuk mencegah banjir serta sarana lalu-lintas pelayaran perdagangan
antardaerah di kerajaan Tarumanegara dengan dunia luar. Juga perdagangan dengan
daerah-daerah di sekitarnya. Akibatnya, kehidupan perekonomian masyarakat
kerajaan Tarumanegara sudah berjalan teratur.
b)
Pertanian
Penggalian
Sungai ChandraBaga oleh Raja Purnawarman seperi diuraikan dalam Prasasti Tugu
juga dimaksudkan sebagai sarana pengairan bagi persawahan di Kerajaan
Tarumanegara
c)
Peternakan
Sebagai
selamatan atas penggalian sungai Chandrabaga , Raja Purnawarman memeberi 1000
ekor sapi kepada para Brahmana seperti yang tertera dalam prasasti Tugu
menunjukan bahwa masyarakat Tarumanegara sudah mengembangkan peternakan yang
baik
F.
Runtuhnya Kerajaan Tarumanegara
Tanda
tanda kemunduran Kerajaan Tarumanegara sudah dimulai pada masa
kepemimpinan
Raja Sudawarman. Hal tersebut didorong oleh beberapa faktor antara lain:
1) Raja
sudawarman kurang peduli terhadap masalah masalah yang terjadi di kerajaannya,
yang menyebabkan raja raja bawahannya merasa tidak diawasi dan tidak dilindungi
2) Pada
masa pemerintahan Raja Sudawarman muncul pesaing Kerajaan Tarumanegara yaitu
Kerajaan Galuh. Kerajaan galuh didirikan oleh Wretikandayun , cucu dari Kretawan,
Raja ke 8 Kerajaan Tarumanegara . Sebelum menjadi sebuah kerajaan, Galuh adalah
bagian dari Kerajan Tarumanegara
3) Raja
Terakhir Kerajaan tarumanegara adalah Linggawarman ( raja ke 12 ) yang tidak memiliki
putera, tetapi dia memiliki dua orang puteri , yaitu Manasih yang menikah dengan
Tarusbawa, raja pertama dari Kerajaan sunda. Sedangkan puteri ke dua adalah
Sobakancana yang menikah dengan Dapuntahyang Sri Jayanasa , Pendiri Kerajaan
Sriwijaya.Tahta Kerajaan Tarumanegara kemudian jatuh ketangan menantu pertama
yaitu Tarusbawa yang ingin mengangkat kembali kejayaan Kerajaan Tarumanegara
dengan cara mengembangkan Kerajaan sunda yang sebelumnya adalah Kerajaan
bawahan Tarumanegara kemudian menggabungkan kerajaan Tarumanegara dengan
Kerajaan sunda, namun ternyata hal ini membuat hubungan kerajaan Tarumanegara
dengan kerajaan lainnya melemah.
4) Kerajaan
galuh memutuskan untuk memisahkan diri dari Kerajaan Tarumanegara. Pemisahan
ini juga didukung oleh Kerajaan Kalingga, karena putera mahkota Kerajaan Galuh
menikah dengan puteri Kerajaan kalingga. Dukungan ini membuat Kerajaan galuh
meminta agar wilayah Kerajaan Tarumanegara dibagi menjadi dua yang disetujui
oleh raja tarusbawa untuk menghindari perang saudara. Sehingga sejak saat itu
Kerajaan Tarumanegara dibagi menjadi wilayah Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
dengan sungai Citarum sebagai batasnya
5) Informasi
yang didapat dari Prasasti Kota Kapur (686 M) menyatakan bahwa Dapunta Hyang
Sri Jayanagara berupaya melancarkan serangan kepada Bhumi Jawa karena dianggap
tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Serangan ini diperkirakan terjadi bersamaan
dengan runtuhnya Tarumanagara dan Ho-Ling menjelang akhir abad ke-7 Masehi. Hal
ini tentunya cukup kuat karena memasuki abad ke-8, Sriwijaya memiliki ikatan
yang kuat dengan Wangsa Sailendra dari Jawa Tengah. Berdasarkan uraian tersebut
diperkirakan Kerajaan Tarumanegara berakhir abad ke-7 M. Karena sejak abad
tersebut tidak ada lagi berita-berita yang dapat dihubungkan dengan nama
rajanya. Menurut Ir. J.L. Moens dari Prasasti Kota Kapur ± 686 M di Pulau Bangka
tentang perjalanan Dapuntahyang ke Bhumi Jawa dengan membawa 20.000 tentara
dengan maksud untuk menghukum negeri tersebut yang tidak mau tunduk pada Sriwiaya
runtuhnya Kerajaan Tarumanegara pada akhir abad tersebut disebabkan oleh penyerangan
Sriwijaya.
3.
Kerajaan Sriwijaya
A.
Letak Geografis
Letak
Kerajaan Sriwijaya sendiri masih dipersoalkan hingga saat ini. Pendapat yang
cukup populer adalah yang dikemukakan oleh beberapa ahli, diataranya:
a. G.
Coedes pada tahun 1918 bahwa pusat Sriwijaya ada di Palembang. Meskipun
pendapat ini juga problematis karena sedikitnya penemuan arkeologis di
Palembang
b. J.L.
Moens misalnya, merekonstruksi peta Asia Tenggara menggunakan beritaberita Cina
dan Arab menyimpulkan bahwa Sriwijaya tadinya berpusat di Kedah, kemudian berpindah
ke Muara Takus.
c. Soekmono,
dalam pendapat lain menyampaikan Jambi sebagai lokasi yang tepat bagi pusat
Sriwijaya karena lokasinya yang terlindung karena ada di dalam teluk namun
menghadap langsung ke laut lepas.
Sampai
dengan hari ini, Palembang masih dianggap sebagai pusat Sriwijaya dengan banyak
perdebatan. Jambi, Kedah, Chaiya (Thailand Selatan), dan bahkan Jawa sempat
dinyatakan sebagai pusat Sriwijaya karena penemuan dari masing-masing
peneliti. Beberapa ahli sampai pada
kesimpulan bahwa Sriwijaya yang dianggap bercorak maritim memiliki kebiasaan
untuk berpindah-pindah pusat kekuasaan. Hal ini mungkin saja terjadi, mengingat
teori Mandala yang diungkapkan oleh Robert von Heine-Geldern yang menyatakan
bahwa pusat dari kerajaan-kerajaan kuno Asia Tenggara adalah raja itu sendiri
dan pengaruhnya. Bukan kekuasaan teritorial, maupun ibukota kerajaan seperti
halnya yang terjadi di Eropa, misalnya.
B.
Latar Belakang Sejarah
Kerajaan
Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar yang terletak di Sumatra Selatan.
Menurut para ahli, pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Palembang dan diperkirakan
telah berdiri pada abad ke-7 M. Awalnya, Sriwijaya hanya kerajaan kecil.
Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan besar setelah dipimpin oleh Dapunta Hyang.
Dapunta Hyang berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menaklukkan
kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Sriwijaya berkembang sampai abad ke 13, dan
sejak itu Sriwijaya berhasil ditaklukkan oleh San Fo Tsi (Swarnabhumi).
Faktor yang mendorong Sriwijaya muncul menjadi
kerajaan besar adalah sebagai berikut:
§ Letaknya
yang sangat strategis di jalur perdagangan antara India dengan Cina.
§ Kemajuan
pelayaran dan perdagangan antara Cina dan India melalui Asia Tenggara.
§ Runtuhnya
Kerajaan Funan di Indocina. Dengan runtuhnya Funan memberikan kesempatan kepada
Sriwijaya untuk berkembang sebagai negara maritim menggantikan Funan.
§ Sriwijaya
mempunyai kemampuan untuk melindungi pelayaran dan perdagangan di perairan Asia
Tenggara dan memaksanya singgah di pelabuhan-pelabuhan.
C.
Sistem Kepercayaan
Kepercayaan
masyarakat sriwijaya yakni agama Buddha yang diperkenalkan di Sriwijaya pada
tahun 425 Masehi. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana
Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha, yaitu aliran Buddha
Mahayana, Hinayana, Pendeta Budha yang terkenal di Sriwijaya diantarana adalah
Dharmapala dan Sakyakirti.
v Dharmapala
adalah seorang guru besar agama Budha dari Kerajaan Sriwijaya. Ia pernah
mengajar agama Budha di Perguruan Tinggi Nalanda (Benggala).
v Sakyakirti
adalah guru besar yang mengarang buku Hastadandasastra
D.
Sistem Ekonomi
Di
dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India
dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas
Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya
memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala,
kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja
di India. Sehingga Sriwijaya mendapat kepercayaan dari vassal-vassalnya di
seluruh Asia Tenggara.
Karena
alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan
selalu mengawasi dan jika perlu memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya.
Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya
menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di
kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya.
Faktor-faKtor
yang mendorong Sriwijaya memiliki kedudukan yang sangat baik dalam perdagangan
internasional:
1) Kerajaan
Sriwijaya mempunyai letak yang sangat strategis, yaitu di tengah-tengah jalur
pelayaran perdagangan antara India dan Cina Sehingga aktivitas perekonomian
masyarakatnya tergantung pada pelayaran dan perdagangan.
2) Kerajaan
Sriwijaya dekat dengan Selat Malaka yang merupakan urat nadi perhubungan bagi
daerah-daerah di Asia Tenggara.
3) Dukungan
pemerintahan raja yang cakap dan bijaksana seperti Balaputradewa.
Pada
masanya Sriwijaya memiliki armada laut yang kuat yang mampu menjamin keamanan
di jalur-jalur pelayaran yang menuju Sriwijaya, sehingga banyak pedagang dari
luar yang singgah dan berdagang di wilayah kekuasaan Sriwijaya tersebut.
Kerajaan Sriwijaya mampu menguasai lalu
lintas pelayaran dan perdagangan internasional selama berabad-abad dengan
menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Setiap pelayaran dan
perdagangan dari Asia Barat ke Asia Timur atau sebaliknya harus melewati
wilayah Kerajaan Sriwijaya yang meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa,
Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan. Keadaan ini juga yang membawa
penghasilan Kerajaan Sriwijaya terutama diperoleh dari komoditas ekspor dan bea
cukai bagi kapal kapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik Sriwijaya.
Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah,
buah-buahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian. Kerajaan ini merupakan kerajaan maritime yang
bersifat metropolitan.
E.
Sumber Sejarah
a.
Berita dalam Negeri
Berita-berita
dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari
Kerajaan Sriwijaya. Prasasti tersebut sebagian besar mengguna-kan huruf Pallawa
dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti itu antara lain sebagai berikut:
1. Prasasti
Kedukan Bukit Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan
bahwa Raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang membawa tentara sebanyak 20.000
orang berhasil menundukkan Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan
Sriwijaya menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan
adalah daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk
perdagangan.
2. Prasasti
Telaga Batu
Ditemukan pada tahun 1935 di Telaga Batu, Sabukingking 2 Ilir, Palembang
terdiri dari 28 baris, dihiasi lambang negara Sriwijaya berupa naga berkepala
tujuh digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetian para calon pejabat
yang menggunakan huruf pallawa. Kutukan
raja terhadap siapa saja yang tidak taat terhadap Raja Sriwijaya dan juga
melakukan tindakan kejahatan.
3. Prasasti
Talang Tuwo , Prasasti berangka tahun 684 M. itu
menyebutkan tentang pembuatan Taman Srikesetra atas perintah Raja Dapunta
Hyang.
4. Prasasti
Karang Berahi , berangka tahun 686 ditemukan pada tahun 1904
di daerah Karang Berahi, Jambi, yang menunjukkan penguasaan Kerajaan Sriwijaya
atas daerah itu. Berisi permintaan kepada para dewa yang menjaga kedatuan
Sriwijaya untuk menghukum setiap orang yang bermaksud jahat dan mendurhakai
terhadap kekuasaan Sriwijaya.
5. Prasasti
Kota Kapur. Prasasti berangka tahun 686 M. itu menyebutkan bahwa
Kerajaan Sriwijaya berusaha untuk menaklukkan Bumi Jawa yang tidak setia kepada
Kerajaan Sriwijaya. Prasasti tersebut ditemukan di Pulau Bangka.
6. Prasasti
Ligor, Prasasti berangka tahun 775 M. Ditemukan di daerah Ligor
Semenanjung Malaya. Menerangkan bahwa Kerajaan Sriwijaya (Sumatera) mendirikan
sebuah pangkalan di Semenanjung Malaya, daerah Ligor untuk mengawasi pelayaran
perdagangan di Selat Malaka.
b.
Berita Asing
Mengingat
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim dengan letak yang sangat
strategis, banyak pedagang-pedagang asing yang datang untuk melakukan aktivitas
di Kerajaan Sriwijaya. Untuk itu banyak ditemukan informasi mengenai keberadaan
Kerajaan Sriwijaya ini. Berita asing tersebut antara lain sebagai berikut :
Berita
Arab
Dari
berita Arab dapat di-ketahui bahwa banyak pedagang Arab yang melakukan kegiatan
perdagangan di Kerajaan Sriwijaya. Bahkan
di pusat Kerajaan Sriwijaya ditemukan perkampungan-perkampungan
orang-orang Arab sebagai tempat tinggal sementara Yang disebut Tashsih .
Keberadaan Kerajaan Sriwijaya juga diketahui dari sebutan orang-orang Arab
terhadap Kerajaan Sriwijaya seperti Zabaq, Sabay, atau Sribusa.
Berita
India
Dari
berita India dapat diketahui bahwa raja dari Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin
hubungan dengan raja-raja dari kerajaan yang ada di India seperti Kerajaan
Nalanda dan Kerajaan Chola.
1) Prasasti
Nalanda Dibuat pada sekitar pertengahan
abad ke-9, dan ditemukan di India berisi pokok pokok sebagai berikut:
ü Raja
Balaputradewa dari Suwarnabhumi (Sriwijaya) meminta pada raja Dewapaladewa agar
memberikan sebidang tanah untuk pembangunan asrama yang digunakan sebagai
tempat bagi para pelajar agama Buddha yang berasal dari Sriwijaya
ü Raja
Balaputra Dewa sebagai raja terakhir dari Dinasti Syailendra yang terusir dari
Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya.
ü Raja
Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 desa dari pajak untuk membiayai para
mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
ü Kerajaan
Sriwijaya menjalin hubungan dengan raja-raja di India, seperti raja dari
Kerajaan Nalanda dan Cholamandala. Kerajaan Cholamandala kemudian memerangi
Sriwijaya karena hendak menguasai Selat Malaka.
Prasasti
ini menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai raja terakhir dari Dinasti
Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan
Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada
Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Dinasti Syailendra. Prasasti ini juga
menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 desa dari pajak
untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
2) Prasasti
Tanjore ( India )
Ditemukan di India, dalam
prasasti ini disebutkan bahwa pada tahun 1017 pasukannya menyerang kerajaan
Swarnabhumi (Sumatera; Sriwijaya). Serangan itu diulang kembali pada tahun
1025, rajanya yang bernama Sanggramawijayatunggawarman berhasil ditawan oleh
pasukan Cola, tetapi akhirnya Sanggramawijaya dilepaskan.
3) Prasasti
Srilanka Ditemukan di
Srinlanka dan diperkirakan berasal dari abad XII, isinya menyebutkan bahwa :
Suryanaraya dari wangsa Malayupura dinobatkan sebagai maharaja di Suwarnapura (Sriwijaya).
Pangeran Suryanarayana menundukkan Manabhramana
Berita
Cina
Dari
berita Cina, dapat diketahui bahwa pedagang-pedagang Kerajaan Sriwijaya telah
menjalin hubungan perdagangan dengan pedagang-pedagang Cina. Para pedagang Cina
sering singgah di Kerajaan Sriwijaya untuk selanjutnya meneruskan perjalanannya
ke India maupun Romawi. Dalam perjalanannya mereka kerap membuat catatan
catatan, diantaranya: • Dalam catatan Dinasti T’ang disebutkan, bahwa Sriwijaya
telah beberapa kali mengirim utusannya ke negeri Cina, sekitar tahun 917M,
972M, 974M, dan 975M, juga tahun 980M dan 983M. Ketika hendak pulang, utusan
itu tertahan di Kanton karena negerinya sedang berperang melawan raja Jawa. •
Dalam catatan I-Tsing disebutkan, bahwa ketika hendak berziarah ke India ia
singgah dulu di Sriwijaya selama enam bulan. Ia juga singgah di Melayu selama
dua bulan, baru kemudian ke India. Ia berada di India selama 10 tahun. Dalam
perjalanan pulang singgah lagi di Sriwijaya selama hampir kurang lebih lima tahun,
untuk menerjemahkan kitab agama Budha ke dalam bahasa Cina. Dalam catatan itu
dikatakan juga bahwa di India terdapat seorang pendeta besar yaitu Sakyakirti
atau Dharmakirti.
F.
Kemunduran dan keruntuhan Sriwijaya
Kerajaan
Sriwijaya mulai mengalami kemunduran pada abad ke 13M. Kemunduran ini
terjadi karena adanya beberapa faktor,
di antaranya adalah faktor alam, ekonomi, politik, dan militer.
1. Faktor
Geografi
dari
faktor alam, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran karena kota Palembang
semakin jauh dari laut. Hal tersebut terjadi karena adanya pengendapan lumpur
yang dibawa oleh Sungai Musi dan sungai lainnya. Hal ini menyebabkan
kapal-kapal dagang yang datang ke Palembang semakin berkurang.
2. Faktor
Ekonomi
Ditinjau dari faktor ekonomi,
kota Palembang yang semakin jauh dari laut menjadi tidak strategis lagi. Karena
tidak banyak kapal dagang yang singgah, sehingga kegiatan perdagangannya
menjadi berkurang. Akibatnya pajak sebagai sumber pendapatan semakin berkurang.
Hal ini memperlemah posisi Sriwijaya. Letak Palembang yang makin jauh dari laut
menyebabkan daerah itu kurang strategis lagi kedudukannya sebagai pusat
perdagangan nasional maupun internasional. Sementara itu, terbukanya Selat
Berhala antara Pulau Bangka dan Kepulauan Singkep dapat menyingkatkan jalur
perdagangan internasional sehingga Jambi ( Kerajaan Melayu ) lebih strategis
daripada Palembang.
3. Faktor
Politik
Perekonomian Sriwijaya yang semakin lemah
itu menyebabkan Sriwijaya tidak mampu lagi mengontrol daerah kekuasaannya.
Akibatnya, daerah-daerah bawahannya berusaha untuk melepaskan diri.
I.
Setelah kekuasaan di Jawa Timur berkembang pada
masa Airlangga, Sriwijaya terpaksa mengakui Jawa Timur sebagai pemegang
hegemoni di Indonesia bagian timur dan Sriwijaya bagian barat.
II.
Dari arah timur, Kerajaan Sriwijaya semakin
terdesak ketika berkembang Kerajaan Singasari yang merupakan kelanjutan dari
kerajaan Kediri , pada waktu diperintah oleh Raja Kertanegara, Kerajaan
Singasari yang bercita-cita menguasai seluruh wilayah nusantara mulai mengirim
ekspedisi ke arah barat yang dikenal dengan istilah Ekspedisi Pamalayu. Dalam
ekspedisi ini, Kerajaan Singasari mengadakan pendudukan terhadap Kerajaan
Melayu, Pahang, dan Kalimantan, sehingga mengakibatkan kedudukan Kerajaan
Sriwijaya semakin terdesak.
III.
Selain itu kedudukan Kerajaan Sriwijaya semakin
terdesak, karena munculnya kerajaan-kerajaan besar yang juga memiliki
kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam di sebelah utara.
Kerajaan Siam memperluas wilayah kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai
daerah-daerah di Semenanjung Malaya termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya Tanah
Genting Kra ke dalam kekuasaan Kerajaan Siam mengakibatkan kegiatan pelayaran
perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang.
4. Faktor
Militer
Dalam segi militer, kemunduran
Sriwijaya disebabkan adanya serangan militer dari kerajaan lain antaranya
sebagai berikut.
a. Serangan
Raja Dharmawangsa pada tahun 990 M. Ketika itu yang berkuasa di Sriwijaya
adalah Sri Sudamani Warmadewa. Walaupun serangan ini tidak berhasil, tetapi
telah melemahkan Sriwijaya
b. Serangan
dari Kerajaan Colamandala yang diperintah oleh Raja Rajendracoladewa pada tahun
1023 dan 1030. Serangan ini ditujukan ke Semenanjung Malaka dan berhasil
menawan raja Sriwijaya. Serangan ketiga dilakukan pada tahun 1068 M dilakukan
oleh Wirarajendra, cucu Rajendracoladewa.
c. Pengiriman
ekspedisi Pamalayu atas perintah Raja Kertanegara, 1275-1292, yang diterima
dengan baik oleh Raja Melayu (Jambi),, Mauliwarmadewa, semakin melemahkan
kedudukan Sriwijaya.
d. Serangan
Kerajaan Majapahit dipimpin Adityawarman atas perintah Mahapatih Gajah Mada
pada tahun 1477 yang mengakibatkan Sriwijaya menjadi taklukan Majapahit.
Akibat
beberapa serangan tersebut, berakhirlah peranan Sriwijaya sebagai kerajaan
maritim sekaligus sebagai kerajaaan yang bertaraf nasional pertama. Dengan
faktor politis dan ekonomi itu, maka sejak akhir abad ke-13 M kerajaan
Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan wilayahnya terbatas pada daerah Palembang.
Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah akhirnya dihancurkan oleh Kerajaan
Majapahit tahun 1377 M.
4. Kerajaan
Mataram Kuno (Medang)
A. Letak
Kerajaan
Kerajaan
Mataram Hindu, berlokasi di pedalaman Jawa tengah, di sekitar daerah yang
banyak dialiri sungai. Letak ibu kota kerajaan secara tepat belum dapat
dipastikan, ada yang menyebut Medang di Poh Pitu, Ri Medang ri Bhumi Mataram.
Daerah yang dimaksud belum jelas, kemungkinan besar di daerah Kedu sampai
sekitar Prambanan (berdasarkan letak prasasti yang ditemukan).
B. Segi
Sosial Budaya.
Masyarakat Mataram Kuno terbilang maju dalam hal budaya, terbukti dengan
banyaknya bangunan candi yang dibuat, Termasuk dua Candi besar yang sangat
termahsyur. Tidak lain adalah Candi Borobudur yang dibuat pada masa
pemerintahan Samaratungga dari dinasti Syailendra yang bercorak Budha. Dan yang
kedua adalah Candi Prambanan yang dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan
dan selesai pada masa pemerintahan Daksa dari Dinasti Sanjaya yang bercorak
Hindu.
C. Sistem
Ekonomi Penduduk Medang
sejak periode Bhumi Mataram pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan
Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu
kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim. Melihat dari letak wilayah
kerajaan yang berada di dekat aliran sungai, dan informasi dari prasasti
canggal yang menyebutkan jawa kaya akan padinya, kemungkinan besar mata
pencaharian penduduknya sebagian besar dari bercocok tanam.
D. Sistem
Kepercayaan Agama
resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa.
Ketika wangsa Syailendra berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Budha
aliran Mahayana. Pemerintahan kedua dinasti yang berbeda agama, dapat berjalan
dengan rukun. Dibawah pemerintahan Dinasti Syailendra toleransi agama masih
terjaga. Terbukti dengan Candi-candi yang berada di Jawa Tengah bagian utara
bercorak Hindu, Sedangkan bagian selatan bercorak Budha. Hal ini menjadi bukti bahwa kerukunan hidup
umat beragama di Indonesia sudah ada sejak dulu. Kemudian pada saat Rakai
Pikatan dari Wangsa Sanjaya berkuasa , agama Hindu dan Budha tetap hidup
berdampingan dengan penuh toleransi.
E. Perkembangan
Pemerintahan berdasarkan Sumber Sejarah Dua prasasti peninggalan Mataram Hindu
sama-sama menyebutkan nama Sanjaya yang merupakan anak dari Sanna, Raja ketiga
Galuh, yang beristri Sannaha. Sannaha adalah cucu ratu Shima, Penguasa Kerajaan
Kaling. Adapun kedua Prasasti dari
Kerajaan Mataram Hindu adalah Prasasti Canggal dan Prasasti Mantyasih.
1. Prasasti
Canggal
Prasasti Canggal yang ditandai
dengan Candrasengkala Cruti Indra Rasa = 654 C = 732 M. ditemukan di kompleks
Candi Gunung Wukir, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah. Prasasti ini berbahasa sanskerta dan hurufnya Pallawa isinya
adalah asal-usul Sanjaya, Menurut
prasasti ini Jawa awalnya dipimpin oleh Raja Sanna, ia memerintah dengan sangat
adil, setelah ia wafat, digantikan oleh putranya yang bernama Sanjaya.
Diceritakan Sanjaya melakukan pembangunan lingga di bukit Stirangga, Desa
Kuntjarakuntja di prasasti ini. Selain itu dijelaskan pula keadaan pulau jawa
yang sangat makmur, kaya akan padi dan emas. Keadaan kerajaan digambarkan
sangat tentram.
Daftar Raja Raja Mataram (berdasarkan
Prasasti Canggal)
1) Sanjaya,
pendiri Kerajaan Medang
2) Rakai
Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Syailendra
3) Rakai
Panunggalan alias Dharanindra
4) Rakai
Warak alias Samaragrawira
5) Rakai
Garung alias Samaratungga
6) Rakai
Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
7) Rakai
Kayuwangi alias Dyah Lokapala
8) Rakai
Watuhumalang
9) Rakai
Watukura Dyah Balitung
10) Mpu
Daksa
11) Rakai
Layang Dyah Tulodong
12) Rakai Sumba Dyah Wawa
13) Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur (Sri
Isyana Dharmottungga) mendirikan dinasti Isyana
14) Sri Lokapala
suami Sri Isanatunggawijaya
15) Makuthawangsawardhana
16) Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang/Mataram
berakhir akibat terjadinya Pralaya. Menantu Dharmawangsa bernama Airlangga
berhasil meloloskan diri dan mendirikan kerajaan Kahuripan.
2. Prasasti
Mantyasih
Prasasti Mantyasih atau
Prasasti Balitung berangka tahun 829 Çaka atau bertepatan dengan 11 April 907
M, ditulis dengan menggunakan aksara dan berbahasa Jawa Kuno. Prasasti ini
berasal dari Wangsa Sanjaya. Prasasti Mantyasih ditemukan di Kampung Meteseh
Kidul, Desa Meteseh, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa
Tengah. Isinya adalah daftar silsilah raja-raja Mataram sebelum Raja Balitung.
Prasasti ini dibuat sebagai upaya melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta
yang sah, sehingga menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh atas
wilayah kerajaan Mataram Kuno. Nama raja yang ditulis antara lain:
1) Raja
Sanjaya,
2) Rakai
Panangkaran,
3) Rakai
Panunggalan,
4) Rakai
Warak,
5) Rakai
Garung,
6) Rakai
Pikatan,
7) Rakai
Kayuwangi,
8) Ratu Watuhumalang,
9) Rakai
Watukura Dyah Balitung.
Setelah
Sanjaya wafat, penggantinya adalah Rakai Panangkaran, kuat dugaan bahwa
semenjak masa kekuasaan Rakai
Panangkaran , Dinasti Syailendra (dari Kerajaan Sriwijaya) mulai mengasai
Mataram dan menjadikan raja-raja dari Dinasti Sanjaya sebagai bawahan. Hal ini
diperkuat dengan bukti bahwa Rakai Panangkaran, kerap membangun candi bercorak
Budha pada masa pemerintahannya seperti Candi Sewu, Plaosan, dan Kalasan.
Pembangunan Candi Kalasan sendiri merupakan perintah dari Maharaja Wisnu, Raja
dari Dinasti Syailendra. Setelah Rakai Panangkaran, Dinasti Syailendra masih
berkuasa atas Mataram Kuno selama kurang lebih satu abad. Beradasarkan Prasasti Kalasan: Rakai
Panangkaran mendapat perintah dari Raja Wisnu untuk mendirikan bangunan suci
bagi Dewi Tarra (Berupa Candi Kalasan yang bercorak Budha) dan menghadiahkan
desa kalasan bagi Sanggha (Budha) Sampai
pada akhirnya terjadi pernikahan antara antara Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya)
dengan Pramodhawardhani pernikahan tersebut ditentang oleh Balaputradewa adik
Pramodhawardhani (Dinasti Syailendra). Balaputradewa sendiri kalah dan
menyingkir ke Sriwijaya, tempat nenek moyangnya. Kelak dibawah pimpinan
Balaputradewa, Sriwijaya mencapai jaman keemasaan. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Dinasti
Syailendra atas Mataram Kuno. Dibawah Pemerintahan Rakai Pikatan wilayah
kekuasaan Mataram Kuno meluas sampai ke Jawa Timur. Adapun setelah Rakai
Pikatan wafat, Raja yang menggantikannya secara berturut-turut adalah Rakai Kayuwangi,
Ratu Watuhumalang, Rakai Watukura Dyah Balitung, Daksa (910 –919) Tulodong (919
– 921) dan Wawa (921 – 927). Wawa adalah raja terakhir Dinasti Sanjaya.
Konflik
Tahta Periode Jawa Tengah Pada masa
pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an),
ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai
Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau
pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa.
Sedangkan menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah Rakai
Watuhumalang. Dyah Balitung yang diduga
merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan
seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin karena kepahlawanannya itu, ia dapat
mewarisi takhta mertuanya. Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena
terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya.
Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong. Tidak
diketahui dengan pasti apakah proses suksesi ini berjalan damai ataukah melalui
kudeta pula. Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang
sebelumnya menjabat sebagai pegawai pengadilan.
F.
Keruntuhan Kerajaan Mataram
Sesudah
Dyah Wawa wafat digantikan menantunya yaitu Mpu Sindok selanjutnya memindahkan
kerajaannya ke Jawa Timur dan mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti Isyana pada
tahun 928 M. Konon pemindahan ini dikarenakan letusan Gunung Merapi, gempa
vulkanik, dan hujan material vulkanik yang membuat kacau banyak daerah di Jawa
Tengah.
Menurut
teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa
Timur disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian
puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya
sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan
lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan
material vulkanik berupa abu dan batu. Di Jawa timur ini Mpu Sindok melanjutkan
Kerajaan Medang Kamulan.
Istana
Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak
diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut
ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja selanjutnya
yang bertakhta di Jawa Timur bernama Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan
Mapatih Hino mendirikan istana baru di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya
berangka tahun 929. Dinasti yang berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan
lagi Sanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga baru bernama Isanawangsa, yang
merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga.
Permusuhan
dengan Sriwijaya
Kekuasaan
Wangsa Sailendra meliputi Kerajaan Medang dan juga kerajaan Sriwijaya di pulau
Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang
menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa
Sriwijaya.
Hubungan
senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa
Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, sekitar
tahun 850–an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa
Syailendra bernama Balaputradewa putra Samaragrawira.
Balaputradewa
kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap
Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan
turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga
bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara. Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap
Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok
memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi
di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh
pihak Mpu Sindok.
G. Akhir
Pemerintahan Kerajaan Mataram
Peristiwa
Mahapralaya Mahapralaya adalah peristiwa
hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti
Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas
sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang
runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016. Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa
Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa
kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia
naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat
itu.
Pada
tahun 1006 Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya,
istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan
sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa
tewas. Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang
lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan
Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya
adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan
nama Kerajaan Kahuripan.
5.
Kerajaan Kediri
A.
Letak Kerajaan Kediri
Letak
kerajaan Kediri berada di Jawa Timur, berpusat di Daha atau sekarang kita kenal
dengan Kota Kediri. Asal usul kota Daha berasal dari Dhanapura, artinya kota
api. Mengenai lokasi kerajaan Kediri ini, bersumber dari salah satu prasasti
peninggalan yang berhasil ditemukan yakni Prasasti Pamwatan. Prasasti ini
dikeluarkan oleh raja Airlangga, raja pertama sekaligus pendirinya. Namun yang menarik disini adalah sebelum
pusat ibu kota berada di kota Daha, ternyata keberadaannya di wilayah
Kahirupan. Hal ini sesuai dengan isi prasasti tersebut yang dikeluarkan pada
tahun 1042 dan berita Serat Calon Arang.
Lebih jelasnya, lihatlah gambar lokasi kerajaan Kediri dibawah ini:
B.
Latar Belakang Sejarah
Pada
tahun 1041 atau 963 M Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan menjadi dua
bagian. Pembagian kerajaan tersebut
dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu
Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal dengan Kahuripan menjadi Jenggala
(Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai
Brantas dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama
(1365 M), dan kitab Calon Arang (1540 M). Tujuan pembagian kerajaan menjadi dua
agar tidak terjadi pertikaian. Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat
bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan Mapanji
Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota
lama, yaitu Kahuripan.
C.
Sistem Kepercayaan
Sistem
kepercayaan yang berkembang di kerajaan Kediri adalah Hindu Syiwa, hal tersebut
didasarkan pada keterangan: 1. Kerajaan kediri letaknya di daerah pedesaan
bukan di pesisir sehingga kediri adalah kerajaan agraris. Pada umumnya
masyarakat beragama hindu tinggal di daerah desa atau pedalaman bukan pesisir.
2. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk
pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur Muka atau bermuka
empat.seperti yang kita ketahui bahwa Dewa Syiwa adalah salah satu dewa dari
agama hindu. 3. Pada tahun 1041 atau 963 M Raja Airlangga memerintahkan membagi
kerajaan menjadi dua bagian. Pembagian
kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya
yaitu Mpu Bharada. Kasta Brahmana adalah istilah dari agama hindu. 4. Jayawarsa
adalah raja pertama kerajaan Kediri dengan prasastinya yang berangka tahun
1104. Ia menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu. Dewa Wisnu adalah dewa dari
agama Hindu.
D.
Sistem Perekonomian
Mata
pencarian utama rakyat kerajaan kediri adalah bercocok tanam dan maritim,mereka
telah mengenal emas dan uang. Sungai Brantas di jadikan sebagai penghubung
daerah perdalam dengan daerah pesisir dalam melakukan aktifitas perdagangan
antar pulau dan keberadaan Sungai Brantas membuat wilayah Kediri subur untuk
lahan Pertanian.
E.
Karya Sastra
Peninggalan
Kerajaan Kediri Selain kerajaan Kediri
memperoleh kekuasaan yang besar, hal lainnya yang diketahui dari Kerajaan
Kediri yaitu seni sastra yang cukup mendapat perhatian pada masa itu di
Kerajaan Kediri.
1. Krisnayana
ditulis pada masa pemerintahan Raja Jayawarsa.
2. Kitab
Bharatayuda dibuat pada masa pemerintahan Raja Jayabaya yang ditulis oleh Mpu
Sedah dan Mpu Penuluh.
3. Kitab
Arjuna Wiwaha dibuat pada masa pemerintahan Raja Jayabaya ditulis oleh Mpu
Kanwa. Dalam kitab ini diceritakan kisah perkawinan Raja Airlangga dengan
puteri dari kerajaan Sriwijaya.
F.
Perkembangan Pemerintahan
Kerajaan
Kediri mencapai puncak kejayaanna di masa pemerintahan Raja Sri Jayabaya ,
hingga kerajaan Kediri daerahnya terus meluas. Yang awalnya berasal dari Jawa
Tengah, kemudian terus meluas ke hampir seluruh daerah Pulau Jawa berhasil
dikuasai. Sejarah tentang masa-masa kejayaan yang pernah digapai oleh kerajaan
Kediri, semakin kuat dengan adanya berita atau catatan dari kronik Cina, yaitu
Liung-wa-tai-a, sebuah karya dari Chou Ku-fei pada tahun 1178 masehi. Isinya
yaitu pada Negeri paling kaya (di masa kerajaan Kediri dipimpin Raja Sri Jayabaya)
selain Cina secara berurutan yaitu Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang
berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa adalah Kerajaan Panjalu
(Kediri), sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
G.
Masa Keruntuhan
Keruntuhan
kerajaan Kediri bermula ketika terjadi perselisihan antara Raja Kertajaya
dengan kaum brahmana. Kaum brahmana tersebut meminta pertolongan dari seorang
yang bernama Ken Arok. Dan Ken Arok ini merupakan pemimpin dari daerah Tumapel
yang sangat ingin memisahkan diri dari kerajaan Kediri. Karena selama ini
kerajaan Tumapel merupakan bawahan dari kerajaan Kediri. Pertempuran antara
Kerajaan Kediri dengan rakyat Tumapel yang didukung penuh oleh Ken Arok terjadi
di daerah desa Ganter atau daerah-daerah sekitarnya. Dan akhirnya pasukan yang
dipimpin oleh Ken Arok berhasil mengalahkan pasukan Kediri yang dipimpin oleh
Kertajaya pada tahun 1222 M. Dengan
kekalahan kerajaan Kediri di daerah dekat dengan desa Ganter, maka runtuh juga
kerajaan Kediri tersebut, karena kekalahannya sangat telak. Dan setelah
kerajaan Kediri kalah, maka menjadi wilayah bawahan dari kerajaan Singhasari -
Tumapel yang dipimpin oleh Ken Arok. Kediri dikuasai kerajaan Singhasari.
Kemudian Ken Arok mengangkat Jayasabha, yang merupakan putra dari Kertajaya
sebagai bupati dari daerah Kediri. Dan tahun 1258 M Jayasabha digantikan
putranya yang bernama Sastrajaya. Demikian juga tahun 1271 M Sastrajaya
digantikan putranya, yang bernama Jayakatwang. Pada masa Jayakatwang inilah,
dia berusaha membangun kembali kerajaan Kediri yang telah runtuh, dengan
memberontak pada Kerajaan Singhasari yang saat itu berada dibawah kekuasaan
Raja Kertanegara. Hingga akhirnya Raja Kertanegara terbunuh dan pasukan dari
kerajaan Singasari berhasil dikalahkan. Jayakatwang berhasil mendirikan kembali
kerajaan Kediri yang telah runtuh. Akan tetapi tidak lama kemudian pasukan yang
dipimpin oleh Raden Wijaya berhasil meruntuhkan kembali kerajaan Kediri. Raden
Wijaya merupakan menantu dari Raja Kertanegara yang telah terbunuh sebelumnya.
Sejak saat itu kerajaan Kediri benar-benar runtuh dan tidak bisa bangkit
kembali.
6.
Kerajaan Singhasari
A.
Letak Geografis
Letak
Kerajaan Singhasari diperkirakan berada di sekitar Supit Urang, yakni lahan di
sekitar pertemuan antara Sungai Brantas dan Sungai Bango. Dalam catatan Rafles
yang ditulis 1882 menyebut sebuah wilayah bernama Kutorejo atau Kota Raja.
Sebuah permukiman kuno yang ditunjukkan dengan sebuah peta topografi yang
diterbitkan pada 1811. “Supit Urang, karena berbentuk seperti supit udang,”
ujarnya. Kota Raja, katanya, merupakan kota kuno, sebelum bersalin nama menjadi
Kutho Bedah. Kawasan Kutho Bedah dipastikan merupakan pusat pemerintahan
Kerajaan Singhasari dibuktikan dengan lokasinya yang strategis. Secara geo
strategis lokasi Kutho Bedah di wilayah berbukit yang cocok untuk pertahanan
dan mengawasi pergerakan musuh. Saat itu, Tumapel tengah melewati masa konflik
dengan Kerajaan Kadiri. Secara alamiah, katanya, Kota Raja berfungsi sebagai
benteng sekaligus pusat pemerintahan. Jejak bekas permukiman kuno dan pusat
pemerintahan juga ditemukan bekas parit dan reruntuhan bata kuno. Juga ada
temuan arkeologis berupa pecahan gerabah, keramik, arca dan umpak.
B.
Awal Pembentukan Kerajaan
Sebelum
mengadakan persekutuan dengan para Brahmana untuk menyerang Raja Kerajaya (Kediri) Ken Arok pada mulanya berasal dari
Sebuah desa kecil yaitu Singasari yg termasuk wilayah Tumapel,dia adalah anak buah Tunggul Ametung penguasa di Tumapel, namun ia membunuh
Tunggul Ametung karena jatuh cinta pada istrinya, Ken Dedes. Kemudian
mendirikan Kerajaan yang kemudian dikenal dengan sebutan Kerajaan Singasari.
Dengan
kekalahan kerajaan Kediri dibawah pimpinan Kertajaya di desa Ganter, maka runtuh juga kerajaan Kediri
tersebut, karena kekalahannya sangat telak. Dan setelah kerajaan Kediri kalah,
maka menjadi wilayah bawahan dari kerajaan Singhasari - Tumapel yang dipimpin oleh Ken Arok. Kediri
dikuasai kerajaan Singhasari.
C.
Sistem Kepercayaan
Di
dalam keagamaan pada masa kerajaan Singasari terjadi sekatisme antara Agama
Hindu dan Budha, dan melahirkan Agama Syiwa Budha pemimpinya diberi jabatan
Dharma Dyaksa. Sedangkan Kartanegara menganut Agama Budha Mahayana dengan
menjalankan Upacara keagamaan secara Pestapora sampai mabuk untuk mencapai kesempurnaan
dalam hal ini Kartanegara menyebut dirinya Cangkandara (pimpinan dari semua
agama).
D.
Sistem Perekonomian
Perdagangan
dan Pertanian Dengan disebutnya alat angkut pedati dan perahu, dapatlah
disimpulkan bahwa perdagangan antardesa cukup ramai. Apalagi di wilayah
Singasari terdapat dua sungai besar, Bengawan Solo dan Kali Brantas yang
dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian dan lalu lintas perdagangan air.
Perdagangan
mulai mendapatkan perhatian cukup besar semasa Kertanegara memerintah.
Kertanegara mengirimkan ekspedisi militer ke Melayu (Pamalayu) untuk merebut
kendali perdagangan di sekitar Selat Malaka. Pada masa ini memang Selat Malaka
merupakan jalur sutera yang dilalui oleh para pedagang asing.
E.
Sumber Sejarah
Beberapa
Prasasti peninggalan dari kerajaan Singosari:
1. Prasasti
Mula Malurung
Prasasti Mula Malurung adalah
piagam pengesahan penganugrahan desa Mula dan desa Malurung untuk tokoh bernama
Pranaraja. Prasasti ini berupa lempengan-lempengan tembaga yang diterbitkan
Kertanagara pada tahun 1255 sebagai raja muda di Kadiri, atas perintah ayahnya
Wisnuwardhana raja Singhasari.
2. Prasasti
Singosari
Prasasti Singosari, yang
bertarikh tahun 1351 M, ditemukan di Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur
dan sekarang disimpan di Museum Gajah dan ditulis dengan Aksara Jawa.
3. Prasati
Wurare Prasasti Wurare adalah sebuah
prasasti yang isinya memperingati penobatan arca Mahaksobhya di sebuah tempat
bernama Wurare (sehingga prasastinya disebut Prasasti Wurare). Prasasti ditulis
dalam bahasa Sansekerta, dan bertarikh 1211 Saka atau 21 November 1289. Arca
tersebut sebagai penghormatan dan perlambang bagi Raja Kertanegara dari
kerajaan Singhasari, yang dianggap oleh keturunannya telah mencapai derajat
Jina (Buddha Agung).
4. Arca
amoghapasa Arca ini dikirimkan Kertanegara
kepada Dharmasraya, penguasa kerajaan melayu sebagai tanda bahwa kerajaan
tersebut telah dikuasai oleh Kertanegara dalam setelah melakukan ekspedisi
Pamalayu.
Karya
Sastra Peninggalan Kerajaan Singasari Kitab Pararaton Ditulis oleh
beberapa pujangga dan menceritakan tentang perjalanan Ken Arok dalam membangun
kerajaan Singhasari serta kekuasaan raja raja Singasari . Pararaton dalam
bahasa Kawi mempunyai arti "Kitab Raja-Raja" , adalah sebuah kitab
naskah Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Isinya
adalah sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga
dikenal dengan nama "Pustaka Raja", yang dalam Bahasa Sanskerta juga
berarti "Kitab Raja-Raja". Tidak terdapat catatan yang menunjukkan
siapa penulis Pararaton.
F. Perkembangan Pemerintahan
Silsilah
Wangsa Rajasa (Penguasa kerajaan) Terdapat perbedaan antara kitab Pararaton dan
Nagarakertagama dalam menyebutkan urutan raja-raja Singasari.
➢ Versi Pararaton, antara lain:
1. Ken
Arok alias Rajasa Sang Amurwabhumi (1222 – 1247 M)
2. Anusapati
(1247 – 1249 M) Putera Ken Dedes dengan
Tunggul Ametung
3. Tohjaya
(1249 – 1250 M) Putera Ken Dedes dengan
Ken Umang
4. Ranggawuni
alias Wisnuwardhana (1250 – 1272 M) Putera Anusapati , Cucu Tiri Ken Arok
5. Kertanagara
(1272 – 1292 M) Putera Wisnuwardhana
➢ Versi Nagarakretagama:
1. Rangga
Rajasa Sang Girinathaputra (1222 – 1227 M)
2. Anusapati
(1227 – 1248 M)
3. Wisnuwardhana
(1248 – 1254 M)
4. Kertanagara
(1254 – 1292 M)
Puncak
Kejayaan Kerajaan Singasari mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan
raja Kertanegara (tahun 1268 sampai 1292 M). Ia adalah raja tersukses kerajaan
Singasari karena mempunyai cita-cita untuk menyatukan seluruh nusantara. Ia
naik tahta pada tahun 1268 dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara.
Langkah-langkah yang dilakukan raja Kertanegara yang menjadi faktor pendukung
kejayaan:
1. Mengganti
pejabat-pejabat tua dengan yang baru.
2. Menggalang
kerjasama (persekutuan) dengan kerajaan lain.
3. Melakukan
ekspedisi PAMALAYU (1275 & 1286 M) untuk menguasai kerajayaan serta untuk
melemahkan posisi kerajaan Sriwijaya di selat Malaka.
4. Menguasai
Bali (1284 M).
5. Menguasai
Jawa barat (1289 M).
6. Menguasai
Pahang dan Tanjung pura , Kalimantan.
G.
Masa Kemunduran kerajaan Singasari
Raja
Kertanegara berhasil menundukkan kerajaan Dharmasraya yang merupakan penguasa
Sumatera melalui ekspedisi Pamalayu dan menguasai kerajaan Bali. Ia juga
menolak permintaan Kubilai Khan untuk mengakui kekuasaan Mongol. Di sisi lain, strategi
penaklukan kekuasaan di luar jawa berdampak pada lemahnya sistem pertahaan di
dalam kerajaan. Sebab, Kertanegara mengerahkan angkatan perang guna mendukung
penaklukan terhadap kerajaan lain.
Akibatnya, ketika terjadi pemberontakan oleh bupati Gelanggelang yaitu
Jayakatwang , kerajaan Singasari tidak lagi memiliki kekuatan pertahanan.
Jayakatwang yang merupakan sepupu, ipar, sekaligus besan dari Kertanegara
berhasil mengalahkan kerajaan Singasari dan Kertanegara pun terbunuh.
Jayakatwang kemudian memindahkan kerajaan tersebut menjadi kerajaan baru di
Kediri. Bersama itu pula kerajaan Singasari pun usai ….(1292 )
7.
Kerajaan Majapahit
A.
Letak Geografis
Kerajaan
Majapahit dibangun di atas Hutan Terik, sekitar tepi sungai Brantas. Berdalih
sebagai pertahanan kerajaan, karena Sungai Brantas adalah pintu keluar masuk
untuk mengakses wilayah utama kerajaan di Jawa Timur, baik Kadiri maupun
Singasari. Desa itu dibuka dengan nama Majapahit, barangkali berhubungan dengan
ditemukannya buah Maja yang pahit di daerah tersebut.
Dalam
Kakawin Nagarakrtagama disebutkan pengaruh Kerajaan Majapahit sangat luas,
meliputi hampir seluruh negara Indonesia sekarang, dari daerah di Pulau Sumatra
di bagian barat, sampai ke Maluku di bagian timur. Luasnya daerah yang
terpengaruh Majapahit itu dikuatkan oleh penjelajah Portugis, Tome Pires.
Menurutnya, sampai kira
kira
awal abad 15, pengaruh Majapahit masih menguasai hampir seluruh Nusantara. “Di
masa itu Negeri Jawa sangat berkuasa karena kekuatan dan kekayaan yang
dimilikinya, juga karena kerajaan ini melakukan pelayaran ke berbagai tempat
yang jauh,” kata Tome Pires dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental.
B.
Latar Belakang Sejarah
Saat
Kertanegara meninggal dalam serangan Jayakatwang pada 1292, Raden Wijaya
berhasil melarikan diri bersama Aria Wirajaya ke Sumenep, Madura dan
berstrategi membangun kerajaan baru. Raden Wijaya meminta ijin pada Jayakatwang
untuk membuka lahan baru untuk tempat berdiam, dan Jayakatwang mengijinkannya.
Dengan bantuan tentaranya dan sisa pasukan Madura, ia membersihkan lahan itu
untuk ditempati . Pada saat itu seorang tentara yang haus mencoba memakan buah
Maja dan ternyata rasanya pahit. Sejak saat itu, tempat tersebut dinamakan
Majapahit. Pada November 1292, pasukan
Mongol mendarat di Tuban untuk membalas perlakuan Kertanegara yang
mempermalukan Raja Mongol, tetapi Kertanegara telah meninggal dunia. Raden Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol
untuk melawan kerajaan Singosari dan setelah pasukan Jayakatwang dihancurkan, Raden
Wijaya berbalik melawan pasukan Mongol dan akhirnya pasukan tersebut
meninggalkan wilayah Jawa. Raden Wijaya kemudian mendirikan kerajaan Majapahit
yang bergelar Kertajasa Jayawardhana yang berpusat di daerah Trowulan (sekarang
menjadi Kabupaten Mojokerto).
C.
Sistem Perekonomian
Majapahit
merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan. Dalam bidang ekonomi
masyarakat di pulau Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada
masa kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak.
Kemakmuran Majapahit didorong karena dua factor, yaitu:
1. Lembah
sungai Brantas dan Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara sangat
cocok untuk pertanian padi , tanahnya subur banyak menghasilkan bahanbahan
ekspor, seperti beras dan kacang-kacangan
2. Pelabuhan-pelabuhan
Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali berperan penting sebagai
pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempahrempah Maluku.
D.
Sistem Kepercayaan
Berdasarkan
sumber tertulis, raja-raja Majapahit umumnya beragama Siwadari aliran
Siwasiddhanta, kecuali Tribuwana Tunggadewi, ibunda Hayam Wuruk, yang beragama
Buddha Mahayana. Walaupun begitu, Siwa dan Buddha merupakan agama resmi
Kerajaan hingga akhir tahun 1447.
E.
Perkembangan Pemerintahan
Hayam
Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350– 1389.
Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan Mahapatih
Gajah Mada yang memiliki sumpah yang terkenal dengan “Sumpah Palapa“ yang
bertekad untuk mempersatukan nausantara dibawah kekuasaannya. Berbagai cara dilakukan untuk melaksanakan
sumpahnya yaitu dengan menguasai daerah daerah di sekitar baik dengan cara
militer berupa penaklukan wilayah maupun dengan cara diplomasi. Salah satu bentuk diplomasi yang dilakukan
adalah saat Majapahit berusaha menguasai Kerajaan Sunda secara politik hubungan
antara Sunda dan Majapahit baik-baik saja. Hanya saja para penguasa Sunda tidak
pernah mau tunduk di bawah Majapahit.
Peluang itu akhirnya datang, ketika putri raja Sunda, Dyah Pitaloka akan
menikah dengan Hayam Wuruk, raja Majapahit.
Sumber
Pararaton, Kidung Sunda, Kidung Sundayana, dan Carita Parahyangan mencatat
keberangkatan raja Sunda beserta rombongannya ke Majapahit untuk mengantar sang
putri. Inilah kesempatan Gajah Mada untuk menuntaskan sumpahnya. Dia membuat
strategi politik dengan menafsirkan kedatangan orang nomor satu Kerajaan Sunda
itu sebagai pernyataan tunduk. Dia meminta sang putri sebagai persembahan dari
Sunda ke Majapahit. Rombongan Kerajaan Sunda tentu saja menolak tunduk.
Pernikahan pun gagal dan terjadilah Peristiwa Perang Bubat. Menurut kakawin Nagarakertagama, daerah
kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera, Semenanjung Melayu, Kalimantan,
Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tuamsik (Singapura) dan
sebagian Kepulauan Filipina. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa,
Kamboja, Siam, Birma bagian Selatan dan Vietnam, bahkan juga mengirim duta
dutanya ke Tiongkok. Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer,
Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan Pada tahun
1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan
serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.
Faktor
Faktor yang mempengaruhi perkembangan kerajaan Majapahit, antara lain:
1. Kecakapan
dari Mahapatih Gajah Mada dalam menepati sumpahnya yaitu sumpah Palapa.
2. Kemajuan
dalam bidang perdagangan Dan kebudayaan yang sudah tergolong maju pada masa
itu.
3. Sudah
memiliki angkatan perang yang telah terlatih dan sangat kuat pada waktu itu.
4. Susunan/sistem
pemerintahan yang sudah teratur, Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan
susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk , dan
tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan
sejarahnya.
F.
Proses Keruntuhan
Majapahit Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389,
Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris
Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya
sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari
selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta. Sehingga terjadilah
Perang Paregreg yang diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, dimenangkan
oleh Wikramarwardhana. Pada akhir abad
ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai
berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang
berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat
Nusantara dan melemahkan kekuasaan Majapahit . Sementara itu beberapa jajahan
dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu
mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Faktor
faktor yang mendorong kemunduran Majapahit, anatara lain:
1. Sepeninggal
Hayam wuruk dan Gajah Mada tidak ada raja raja Majapahit yang cakap dalam
memerintah.
2. Adanya
perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregrek yang mengakibatkan
melemahnya kerajaan Majapahit.
3. Dibaginya
kekuasaan didalam sistem pemerintahan yang disdasarkan pada kekeluargaan atau
lebih dikenal dengan tahun 1405-1406 nepotisme.
4. Kemunduran
bidang perdagangan disebabkan karena Majapahit tidak mampu lagi melindungi
pusat-pusat perdagangan yang sangat luas itu.
5. Pemberontakan
yang dilakukan oleh seorang bangsawan Majapahit (Bhre Kertabumi) tahun 1468 dan
ekspansi Kesultanan Demak ke wilayah-wilayah Majapahit baik di pesisir maupun
pedalaman Pulau Jawa.
G.
Sumber Sejarah Prasasti
1. Prasasti
Taji Gunung Berisi tentang penyebutan
dewa-dewa dengan, "Om, NamassiwayanamoBuddhaya". Artinya
"Selamat, bakti kepada Siwa dan Buddha.“
2. Prasasti
Sukamerta Pada baris kedua dan ketiga
nama dewa disebut, "Sri Maharaja, apanSiraPrabudewamurti,
wirincinarayanasantaratma". Artinya, "Sri Maharaja, karena beliau
adalah raja penjelmaan dewa, yaitu Wirinci (Brahma), Narayana (Wisnu), Sankara
(Siwa)".
3. Prasasti
Kudadu Mengenai pengalaman Raden Wijaya
sebelum menjadi Raja Majapahit yang telah ditolong oleh Rama Kudadu dari
kejaran balatentara Jayakatwang setelah RadenWijaya menjadi raja dan bergelar
Kertajaya Jayawardhana Anantawikramottunggadewa, pendudukdesa Kudadu dan Kepala
desanya (Rama) diberi hadiah tanah sima.
4. Prasasti
Waringin Pitu Mengungkapkan bentuk
pemerintahan dan sistem birokrasi kerajaan Majapahit yang terdiri dari 14
kerajaan bawahan.
Kitab-kitab
peninggalan Majapahit:
1. Kitab
Sutasoma Kitab ini menceritakan
Seorang anak raja bernama Sutasoma.Sutasoma meninggalkan keduniawian karena
ketaatannya pada agama Buddha.
2. Kitab
Nagarakertagama Dalam beberapa prasasti
Majapahit yang memuat daftar dharmma upapatti para pejabat dapat dikelompokan
kedalam golongan Buddha dan golongan Siwa.
3. Pustaka
Arjunawijaya Ketika raja Arjunawijaya
memasuki candi Buddha, para biksu menerangkan bahwa para Jin penunggu alam yang
digambarkan dalam patung-patung sama dengan parajelmaan Siwa.
4. Serat
Pararaton, (bahasaKawi: "Kitab Raja-Raja"). adalah
sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi
berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah
sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit di Jawa Timur.
5. Kitab
Sundayana. Menceritakan tentang
Peristiwa Perang Bubat antara Kerajaan Majaphit dengan kerajaan Sunda
Pajajaran, dalam upaya Kerajaan Majapahit menguasai Kerajaan Sunda Pajajaran
dengan cara menikahi Putri Candra Kirana namun ditengah perjalanan iring
iringan penganten tersebut diserang oleh pasukan Majapahit sendiri.
6. Kitab
Sorandaka dan Kitab Ranggalawe Menceritakan tentang pemberontakan yang
dilakukan oleh oleh Sora dan Ranggalawe.
7. Kitab
Panjiwijayakrama Menceritakan tentang perjalanan Raden Wijaya sampai menjadi
raja Majapahit yang pertama.
Faktor-faktor
yang Mendorong Keruntuhan Kerajaan Kerajaan yang bercorak Hindu Budha Perkembangan pengaruh agama dan kebudayaan
Hindu – Budha cukup besar, karena dapat mempengaruhi seluruh sektor kehidupan
masyarakat Indonesia. Bahkan tidakkurang dari 1000 tahun (400 – 1478 M)
pengaruh Hindu – Budha dominan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Hal ini dapat dibuktikan melalui perkembangan Kerajaan Kutai hingga runtuhnya
Kerajaan Majapahit.
Terdapat
beberapa hal yang menyebabkan runtuhnya kerajaan-kerajaan yang bercorak
Hindu-Buddha di wilayah Indonesia:
1) Terdesaknya
kerajaan-kerajaan sebagai akibat munculnya kerajaan yang lebih besar dan lebih
kuat.
2) Tidak
ada peralihan kepemimpinan atau kaderisasi, seperti yang terjadi pada masa
kekuasaan Kerajaan Majapahit.
3) Berlangsungnya
perang saudara yang justru melemahkan kekuasaan kerajaan, seperti yang terjadi
pada Kerajaan Syailendra dan Majapahit.
4) Banyak
daerah yang melepaskan diri akibat lemahnya pengawasan pemerintahan pusat dan
raja-raja bawahan membangun sebuah kerajaan yang merdeka serta tidak terikat
lagi oleh pemerintahan pusat.
5) Kemunduran
ekonomi dan perdagangan. Akibat kelemahan pemerintah pusat, masalah
perekonomian dan perdagangan diambil alih para pedagang Melayu dan Islam.
6) Tersiarnya
dan budaya Islam, yang dengan mudah diterima para adipati di daerah pesisir.
Hal ini membuat mereka merasa tidak terikat lagi dengan pemerintahan kerajaan
pusat seperti pada masa kekuasaan kerajaan Majapahit.
No comments:
Post a Comment