Masuknya
Islam di Indonesia pada abad ke V tidak bisa dilepaskan dari sejarah
perdagangan dan pelayaran antar benua yang berlangsung pada masa itu. Kendati
demikian, para ahli masih bersilang pendapat tentang bagaimana proses masuknya
budaya dan agama Islam tersebut hingga bisa mengalahkan kebudayaan dan agama
yang telah ada sebelumnya, yakni Hindu dan Budha. Berbagai teori pun berkembang
dengan disertai bukti dan fakta pendukung. Pada modul ini akan dijelaskan
tentang teori-teori masuknya Islam Ke Indonesia bacalah dengan baik.
1.
Teori Gujarat
Tokoh
yang mendukung teori ini adalah para ilmuwan Belanda seperti Pijnappel dan
Moqette yang mengatakan bahwa yang membawa agama Islam ke Indonesia ialah
orangorang Arab yang sudah lama tinggal di Gujarat (India). Menurut mereka,
Islam masuk ke Indonesia sejak awal abad ke 13 Masehi bersama dengan hubungan
dagang yang terjalin antara masyarakat Nusantara dengan para pedagang Gujarat
yang datang, dengan jalur Indonesia-Cambay- Timur Tengah- Eropa.
Snouck
Hurgronje yang juga sebagai ilmuwan Belanda berpendapat bahwa hubungan dagang
Indonesia dengan orang-orang Gujarat telah berlangsung lebih awal dibanding
dengan orang-orang Arab.
Teori
masuknya Islam di Indonesia yang dicetuskan Hurgronje dan Pijnapel ini didukung
oleh beberapa bukti :
a) Batu
nisan Sultan Samudera Pasai Malik As-Saleh (1297) dan batu nisan Syekh Maulana
Malik Ibrahim di Gresik memiliki kesamaan dengan batu nisan yang berada di
Cambay.
b) Hal
ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah
singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak
sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India
yang menyebarkan ajaran Islam.
Selain
memiliki bukti, teori ini juga mempunyai kelemahan. Kelemahan teori Gujarat
ditunjukan pada 2 sangkalan. Pertama, masyarakat Samudra Pasai menganut mazhab
Syafii, sementara masyarakat Gujarat lebih banyak menganut mazhab Hanafi.
Kedua, saat islamisasi Samudra Pasai, Gujarat masih merupakan Kerajaan Hindu
2.
Teori Persia
Umar
Amir Husen dan Hoesein Djajadiningrat sebagai pencetus sekaligus pendukung
teori Persia menyatakan bahwa Islam yang masuk di Indonesia pada abad ke 7
Masehi adalah Islam yang dibawa kaum Syiah, Persia. Teori ini didukung adanya
beberapa bukti pembenaran di antaranya :
a) Peringatan
10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad,
yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran.
b) Di
Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut.
Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
c) Kesamaan
ajaran Sufi
d) Penggunaan
istilah persia untuk mengeja huruf Arab
e) Kesamaan
seni kaligrafi pada beberapa batu nisan
f) Bukti
maraknya aliran Islam Syiah khas Iran pada awal masuknya Islam di Indonesia.
g) Adanya
perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik.
Dengan
banyaknya bukti pendukung yang dimiliki, teori ini sempat diterima sebagai
teori masuknya Islam di Indonesia yang paling benar oleh sebagian ahli sejarah.
Akan tetapi, setelah ditelisik, ternyata teori ini juga memiliki kelemahan.
Bila dikatakan bahwa Islam masuk pada abad ke 7, maka kekuasaan Islam di Timur
Tengah masih dalam genggaman Khalifah Umayyah yang berada di Damaskus, Baghdad,
Mekkah, dan Madinah. Jadi tidak memungkinkan bagi ulama Persia untuk menyokong
penyebaran Islam secara besar-besaran ke Nusantara.
3.
Teori Mekkah
Teori
Arab atau Teori Makkah menyatakan bahwa proses masuknya Islam di Indonesia
berlangsung saat abad ke-7 Masehi. Islam dibawa para musafir Arab(Mesir) yang
memiliki semangat untuk menyebarkan Islam ke seluruh belahan dunia. Tokoh yang
mendukung teori ini adalah Van Leur, Anthony H. Johns, T.W Arnold, Buya Hamka,
Naquib al-Attas, Keyzer, M. Yunus Jamil, dan Crawfurd. Teori masuknya Islam di
Indonesia ini didukung beberapa 3 bukti utama, yaitu :
a) Pada
abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan
Islam (Arab), dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan
di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
b) Kerajaan
Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i
terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah
penganut mazhab Hanafi.
c) Adanya
penggunaan gelar Al Malik pada raja-raja Samudera Pasai yang hanya lazim
ditemui pada budaya Islam di Mesir.
Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke-7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri. Hingga kini, teori Arab dianggap sebagai teori yang paling kuat. Kelemahannya hanya terletak pada kurangnya fakta dan bukti yang menjelaskan peran Bangsa Arab dalam proses penyebaran Islam di Indonesia.
4.
Teori Cina
Teori
China yang dicetuskan oleh Slamet
Mulyana dan Sumanto Al Qurtuby menyebutkan bahwa, Islam masuk ke Indonesia
karena dibawa perantau Muslim China yang datang ke Nusantara. Teori ini
didasari pada beberapa bukti,yaitu :
a) Fakta
adanya perpindahan orang-orang muslim China dari Canton ke Asia Tenggara,
khususnya Palembang pada abad ke 879 M
b) Adanya
masjid tua beraksitektur China di Jawa
c) Raja
pertama Demak yang berasal dari keturunan China (Raden Patah)
d) Gelar
raja-raja demak yang ditulis menggunakan istilah China e. Catatan China yang
menyatakan bahwa pelabuhan-pelabuhan di Nusantara pertama kali diduduki oleh
para pedagang China.
Pada
dasarnya semua teori tersebut masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan
tersendiri. Tidak ada kemutlakan dan kepastian yang jelas dalam masingmasing
teori tersebut. Menurut Azyumardi Azra, sesungguhnya kedatangan Islam ke
Indonesia datang dalam kompleksitas, artinya tidak berasal dari satu tempat,
peran kelompok tunggal, dan tidak dalam waktu yang bersamaan.
B.
Cara penyebaran Islam
Di
Indonesia Agama Islam di Kepulauan Indonesia semakin berkembang, setelah dianut
oleh penduduk pesisir Indonesia, agama dan kebudayaan Islam semakin berkembang
ke hampir seluruh wilayah Indonesia. Perkembangan agama Islam tidak terjadi
secara spontan, melainkan melalui suatu proses secara damai, responsif, dan
proaktif. Oleh, karena itu, masyarakat Indonesia yang belum menganut Islam
mudah tertarik dengan agama dan kebudayaan Islam. Banyak cara yang dilakukan
untuk menyebarkan agama dan kebudayaan Islam antara lain melalui cara:
1.
Perdagangan
Saluran
perdagangan merupakan tahap yang paling wala dalam tahap Islamisasi, yang
diperkirakan dimulai pada abad ke-7 M yang melibatkan pedagang-pedagang Arab,
Persia, dan India. Menurut Thome Pires, sekitar Abad ke-7 sampai Abad ke-16
lalu lintas perdagangan yang melalui Indonesia sangat ramai. Dalam agama Islam
siapapun bisa sebagai penyebar Islam, sehingga hal ini menguntungkan karena
mereka melakukannya sambil berdagang. Pada saluran ini hampur semua kelompok
masyarakat terlibat mulai dari raja, birokrat, bangsawan, masyarakat kaya, sampai
menengah ke bawah. Proses ini dipercepat dengan runtuhnya kerajan-kerajaan
Hindhu-Budha.
2. Perkawinan
Tahap
ini merupakan kelanjutan dari tahap perdagangan. Para pedagang yang datang
lama-kelamaan menetap dan terbentuklah perkampungan yang dikenal dengan nama
pekojan.
Tahap
selanjutnya, para pedagang yang menetap ada yang membentuk keluarga dengan
penduduk setempat dengan cara menikah, misalnya Raden Rahmat (Sunan Ampel)
dengan Nyai Manila. Mengingat pernikahan Islam dengan agama lain tidak sah,
maka penduduk lokal yang akan dinikahi harus memeluk Islam terlebih dahulu. Dan
cara untuk memeluk agama Islam pun tidak terlalu sulit, cukup dengan
mengucapkan kalimat Syahadat. Penyebaran agama Islam dengan saluran ini
berjalan lancar mengingat akan adanya keluarga muslim yang menghasilkan
keturunan-keturunan muslim dan mengundang ketertarikan penduduk lain untuk
memeluk agama Islam.
Dalam
beberapa babad diceritakan adanya proses ini, antara lain :
a) Maulana
Ishak menikahi putri Blambangan dan melahirkan Sunan Giri
b) Babad
Cirebon diceritakan perkawinan antara Putri Kawunganten dengan Sunan Gunung
Jati
c) Babad
Tuban menceritakan perkawinan antara Raden Ayu Teja, Putri Adipati Tuban dengan
Syekh Ngabdurahman
3. Pendidikan
Para
ulama, kiai, dan guru agama berperan penting dalam penyebaran agama dan
kebudayaan Islam. Para tokoh ini menyelenggarakan pendidikan melalui pondok
pesantren bagi para santri-santrinya. Dari para santri inilah nantinya Islam
akan disosialisasikan di tengah masyarakat. Pesantren yang telah berdiri pada
masa pertumbuhan Islam di Jawa, antara lain Pesantren Sunan Ampel di Surabaya
dan Pesantren Sunan Giri di Giri. Pada saat itu, terdapat berbagai kyai dan
ulama yang dijadikan guru agama atau penasihat agama di kerajaan-kerajaan. Kyai
Dukuh adalah guru Maulana Yusuf di Kerajaan Banten.
Kyai
Ageng Sela adalah guru dari Jaka Tingkir. Syekh Yusuf merupakan penasihat agama
Sultan Ageng Tirtayasa di Kerajaan Banten.
4.
Kesenian
Penyebaran
Islam melalui seni budaya dapat dilakukan memalui beberapa cara seperti seni
bangunan, seni pahat atau ukir, tari, musik, dan sastra. Saluran seni yang
paling terkenal adalah pertunjukan wayang dan musik. Dasar Pitutur (Sunan
Kalijaga) Sunan Kalijaga merupakan salah satu wali yang aktif menyebarkan Islam
dengan menggunakan sarana wayang. Cerita
wayang diambil dari kisah Mahabarata dan Ramayana, tetapi oleh Sunan Kalijaga
diseliptakan tokoh-tokoh dari pahlawan Islam. Nama tertentu disebutnya sebagai
simbol Islam. Misalnya, panah kalimasada, sebuah senjata paling ampuh,
dihubungkan dengan kalimat syahadat, pernyataan yang berisi pengakuan kepada
Allah swt, dan Nabi Muhammad Saw. sebagai rukun islam yang pertama.
Sementara
untuk musik banyak dilakukan oleh Sunan Bonang. Karya Sunan Bonang yang paling
populer adalah Tombo Ati, yang hingga hari ini masih dinyanyikan banyak orang.
Contoh lainnya antara lain Gamelan (oleh sunan Drajad) serta Ganding
(lagu-lagu) yang berisi Syair-sayair nasehat dan dasar - dasar Islam. Kesenian
yang telah berkembang sebelumnya tidak musnah, tetapi diperkaya oleh seni Islam
(Akulturasi).

Pesan-pesan
islamisasi juga dilakukan melalui sastra, misalnya kitab primbon pada abad
ke-16 M yang disusun oleh Sunan Bonang. Kitab-kitab tasawuf diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu dan bahasa daerah. Babad dan hikayat juga ditulis dalam
bahasa daerah dengan huruf daerah dan Arab. Penyebaran Islam juga tidak dapat
di lepaskan dari peranan para Wali. Ada Sembilan wali yang menyebarkan Islam
yang dikenal dengan cara berdakwah, yang di sebut juga Walisongo. mereka di
kenal telah memiliki Ilmu serta penghayatan yang tinggi terhadap Agama Islam.
berikut yang termasuk WaliSongo;
1) Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik berasal dari Persia.
2) Sunan Ampel atau Raden Rahmat.
3) Sunan Drajat atau Syarifudin (putra Raden Rahmat)
4) SunanBonang atau Mahdun Ibrahim (putra Raden Rahmat)
5) Sunan Giri atau Raden Paku (murid Sunan Ampel).
6) Sunan Kalijaga atau Joko Said.
7) Sunan Kudus atau Jafar Sidiq.
8) Sunan Muri atau Raden Umar Said.
9) Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.
Peranan
para wali dalam penyebaran agama Islam sangat besar. Mereka penyebarkan agama
Islam dengan cara bijaksana dan damai. Dengan cara tersebut, ajaran Islam mudah
diterima oleh masyarakat. Peranan mereka diantaranya menjadi guru agama atau
penasihat raja dan mengembangkan budaya setempat yang disesuaikan dengan unsur
Islam.
5.
Politik
Kekuasaan
raja memiliki peranan sangat besar dalam penyebaran Islam di Indonesia. Ketika
seorang raja memeluk Islam, maka secara tidak langsung rakyat akan mengikuti.
Dengan demikian, setelah agama Islam mulai tumbuh di masyarakat, kepentingan
politik dilaksanakan melalui perluasan wilayah kerajaan yang diikuti dengan
penyebaran agama. Contohnya, Sultan Demak yang mengirimkan pasukannya dibawah
Fatahilah untuk menduduki wilayah Jawa Barat dan memerintahkan untuk
menyebarkan agama Islam.
6. Tasawuf
Kata
"tasawuf" sendiri biasanya berasal di kata "sufi" yang berarti Kain Wol yang
terbuat dari bulu Domba. Tasawuf adalah ajaran untuk mengenal dan mendekatkan
diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan
Allah dan memperoleh ridha-Nya. Saluran tasawuf berperan dalam membentuk
kehidupan sosial bangsa Indonesia, hal ini dimunkinkan karena sifat tasawuf
yang memberikan kemudahan dalam pengkajian ajarannya karena disesuaikan dengan
alam pikiran masyarakatnya. Bukti-bukti mengenai hal ini dapat diketahui dari
Sejarah Banten, Babad Tanah Jawi, dan Hikayat Raja-raja Pasai. . Ajaran Tasawuf
ini masuk ke indonesia sekitar Abad ke-13, tetapi baru berkembang Pesat sekitar
Abad ke-17.dan mazhab yang pelinga berpengaruh adalah Mazhab Syafi’i.
Tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia, antara lain Hamzah Fansyuri, Syamsuddin as
Sumatrani, Nur al Din al Raniri, Abdul al Rauf, Syekh Siti Jenar, dan Sunan
Bonang.
C.
Silang budaya
Masuknya
Islam Ke Indonesia Berkembangnya kebudayaan Islam di Kepulauan Indonesia telah
menambah khasanah budaya nasional Indonesia, serta ikut memberikan dan
menentukan corak kebudayaan bangsa Indonesia. Akan tetapi karena kebudayaan
yang berkembang di Indonesia sudah begitu kuat di lingkungan masyarakat maka
berkembangnya kebudayaan Islam tidak menggantikan atau memusnahkan kebudayaan
yang sudah ada. Dengan demikian terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam
dengan kebudayaan yang sudah ada. Hasil proses akulturasi antara kebudayaan
praIslam dengan ketika Islam masuk tidak hanya berbentuk fisik kebendaan
seperti seni bangunan, seni ukir atau pahat, dan karya sastra tetapi juga
menyangkut pola hidup dan kebudayaan non fisik lainnya.
Beberapa
contoh bentuk akulturasi akan ditunjukkan pada modul ini antara lain:
A. Seni
Bangunan
Seni
dan arsitektur bangunan Islam di Indonesia sangat unik, menarik dan
akulturatif. Seni bangunan yang menonjol di zaman perkembangan Islam ini
terutama masjid, menara serta makam.
Masjid
dan Menara
Dalam seni bangunan di zaman perkembangan Islam, nampak ada
perpaduan antara unsur Islam dengan kebudayaan praIslam yang telah ada. Seni
bangunan Islam yang menonjol adalah masjid. Fungsi utama dari masjid, adalah
tempat beribadah bagi orang Islam. Masjid atau mesjid dalam bahasa Arab mungkin
berasal dari bahasa Aramik atau bentuk bebas dari perkataan sajada yang artinya
merebahkan diri untuk bersujud. Dalam bahasa Ethiopia terdapat perkataan mesgad
yang dapat diartikan dengan kuil atau gereja.
Di antara dua pengertian tersebut yang mungkin primer ialah
tempat orang merebahkan diri untuk bersujud ketika salat atau sembahyang.
Pengertian tersebut dapat dikaitkan dengan salah satu hadis sahih al-Bukhârî
yang menyatakan bahwa “Bumi ini dijadikan bagiku untuk masjid (tempat salat)
dan alat pensucian (buat tayamum) dan di tempat mana saja seseorang dari umatku
mendapat waktu salat, maka salatlah di situ.”
Jika pengertian tersebut dapat dibenarkan dapat pula
diambil asumsi bahwa ternyata agama Islam telah memberikan pengertian perkataan
masjid atau mesjid itu bersifat universal. Dengan sifat universal itu,
orang-orang Muslim diberikan keleluasaan untuk melakukan ibadah salat di tempat
manapun asalkan bersih. Karena itu tidak mengherankan apabila ada orang Muslim
yang melakukan salat di atas batu di sebuah sungai, di atas batu di tengah
sawah atau ladang, di tepi jalan, di lapangan rumput, di atas gubug penjaga
sawah atau ranggon (Jawa, Sunda), di atas bangunan gedung dan sebagainya.
Meskipun pengertian hadist tersebut memberikan keleluasaan
bagi setiap Muslim untuk salat, namun dirasakan perlunya mendirikan bangunan
khusus yang disebut masjid sebagai tempat peribadatan umat Islam.
Masjid sebenarnya mempunyai fungsi yang luas yaitu sebagai
pusat untuk menyelenggarakan keagamaan Islam, pusat untuk mempraktikkan
ajaran-ajaran persamaan hak dan persahabatan di kalangan umat Islam. Demikian
pula masjid dapat dianggap sebagai pusat kebudayaan bagi orang-orang Muslim. Di
Indonesia sebutan masjid serta bangunan tempat peribadatan lainnya ada
bermacam-macam sesuai dan tergantung kepada masyarakat dan bahasa setempat.
Sebutan masjid, dalam bahasa Jawa lazim disebut mesjid, dalam bahasa Sunda
disebut masigit, dalam bahasa Aceh disebut meuseugit, dalam bahasa Makassar dan
Bugis disebut masigi. Bangunan masjid-masjid kuno di Indonesia memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
1. Atapnya
berupa atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil
dan tingkat yang paling atas berbentuk limas. Jumlah tumpang biasanya selalu
gasal/ ganjil, ada yang tiga, ada juga yang lima. Ada pula yang tumpangnya dua,
tetapi yang ini dinamakan tumpang satu, jadi angka gasal juga. Atap yang
demikian disebut meru. Atap masjid biasanya masih diberi lagi sebuah kemuncak/
puncak yang dinamakan mustaka.
2. Tidak
ada menara yang berfungsi sebagai tempat mengumandangkan adzan. Berbeda dengan
masjid-masjid di luar Indonesia yang umumnya terdapat menara.
Pada masjidmasjid kuno di
Indonesia untuk menandai datangnya waktu salat dilakukan dengan memukul beduk
atau kentongan. Yang istimewa dari Masjid Kudus dan Masjid Banten adalah
menaranya yang bentuknya begitu unik. Bentuk menara Masjid Kudus merupakan
sebuah candi langgam Jawa Timur yang telah diubah dan disesuaikan penggunaannya
dengan diberi atap tumpang. Pada Masjid Banten, menara tambahannya dibuat
menyerupai mercusuar.
3. Masjid
umumnya didirikan di ibu kota atau dekat istana kerajaan. Ada juga masjidmasjid
yang dipandang keramat yang dibangun di atas bukit atau dekat makam.
Masjidmasjid di zaman Wali Sanga umumnya berdekatan dengan makam.
B. Makam-makam
Makam yang lokasinya di dataran dekat masjid agung, bekas
kota pusat kesultanan antara lain makam sultan sultan Demak di samping Masjid
Agung Demak, makam raja raja Mataram-Islam Kota Gede (D.I. Yogyakarta), makam
sultan sultan Palembang, makam sultan-sultan di daerah Nanggroe Aceh, yaitu
kompleks makam di Samudera Pasai, makam sultan-sultan Aceh di Kandang XII,
Gunongan dan di tempat lainnya di Nanggroe Aceh, makam sultan-sultan Siak
Indrapura (Riau), makam sultan-sultan Palembang, makam sultan-sultan Banjar di
Kuin (Banjarmasin), makam sultan-sultan di Martapura (Kalimantan Selatan),
makam sultan-sultan Kutai (Kalimantan Timur), makam Sultan Ternate di Ternate,
makam sultan-sultan Goa di Tamalate, dan kompleks makam raja-raja di Jeneponto
dan kompleks makam di Watan Lamuru (Sulawesi Selatan), makam-makam di berbagai
daerah lainnya di Sulawesi Selatan, serta kompleks makam Selaparang di Nusa
Tenggara. Di beberapa tempat terdapat makam-makam yang meski tokoh yang dikubur
termasuk wali atau syaikh namun, penempatannya berada di daerah dataran tinggi.
Makam tokoh tersebut antara lain, makam Sunan Bonang di
Tuban, makam Sunan Derajat (Lamongan), makam Sunan Kalijaga di Kadilangu
(Demak), makam Sunan Kudus di Kudus, makam Maulana Malik Ibrahim dan makam
Leran di Gresik (Jawa Timur), makam Datuk Ri Bkalianng di Takalar (Sulawesi
Selatan), makam Syaikh Burhanuddin (Pariaman), makam Syaikh Kuala atau Nuruddin
arRaniri (Aceh) dan masih banyak para dai lainnya di tanah air yang dimakamkan
di dataran.
Makam-makam yang terletak di tempat-tempat tinggi atau di
atas bukit-bukit sebagaimana telah dikatakan di atas, masih menunjukkan
kesinambungan tradisi yang mengandung unsur kepercayaan pada ruh-ruh nenek
moyang yang sebenarnya sudah dikenal dalam pengejawantahan pendirian punden
punden berundak Megalitik.
Tradisi tersebut dilanjutkan pada masa kebudayaan Indonesia
Hindu-Buddha yang diwujudkan dalam bentuk bangunan-bangunan yang disebut candi.
Antara lain Candi Dieng yang berketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut,
Candi Gedongsanga, Candi Borobudur.
Percandian Prambanan, Candi Ceto dan Candi Sukuh di daerah
Surakarta, Percandian Gunung Penanggungan dan lainnya.
Menarik perhatian kita bahwa makam Sultan Iskandar Tsani
dimakamkan di Aceh dalam sebuah bangunan berbentuk gunungan yang dikenal pula
unsur meru. Setelah kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha mengalami keruntuhan dan
tidak lagi ada pendirian bangunan percandian, unsur seni bangunan keagamaan
masih diteruskan pada masa tumbuh dan berkembangnya Islam di Indonesia melalui
proses akulturasi. Makam-makam yang lokasinya di atas bukit, makam yang paling
atas adalah yang dianggap paling dihormati misalnya Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah di Gunung Sembung, di bagian teratas kompleks pemakaman
Imogiri ialah makam Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Kompleks makam yang mengambil tempat datar misalnya di Kota
Gede, orang yang paling dihormati ditempatkan di bagian tengah. Makam walisongo
dan sultan-sultan pada umumnya ditempatkan dalam bangunan yang disebut cungkup
yang masih bergaya kuno dan juga dalam bangunan yang sudah diperbaharui.
Cungkup-cungkup yang termasuk kuno antara lain cungkup
makam Sunan Giri, Sunan Derajat, dan Sunan Gunung Jati. Demikian juga cungkup
makam sultan-sultan yang dapat dikatakan masih menunjukkan kekunoannya walaupun
sudah mengalami perbaikan contohnya cungkup makam sultan-sultan Demak, Banten,
dan Ratu Kalinyamat (Jepara).
Disamping bangunan makam, terdapat tradisi pemakaman yang
sebenarnya bukan berasal dari ajaran Islam. Misalnya, jenazah dimasukkan ke
dalam peti. Pada zaman kuno ada peti batu, kubur batu dan lainnya. Sering pula
di atas kubur diletakkan bunga-bunga. Pada hari ke-3, ke-7, ke40, ke-100, satu
tahun, dua tahun, dan 1000 hari diadakan selamatan. Saji-sajian dan selamatan
adalah unsur pengaruh kebudayaan pra-Islam, tetapi doa-doanya secara Islam. Hal
ini jelas menunjukkan perpaduan.
Sesudah upacara terakhir (seribu hari) selesai, barulah
kuburan diabadikan, artinya diperkuat dengan bangunan dan batu. Bangunan ini
disebut jirat atau kijing. Nisannya diganti dengan nisan batu. Di atas jirat
sering didirikan semacam rumah yang di atas disebut cungkup.
C. Seni
Ukir
Pada masa perkembangan Islam di zaman madya, berkembang
ajaran bahwa seni ukir, patung, dan melukis makhluk hidup, apalagi manusia
secara nyata, tidak diperbolehkan. Di Indonesia ajaran tersebut ditaati. Hal
ini menyebabkan seni patung di Indonesia pada zaman madya, kurang berkembang.
Padahal pada masa sebelumnya seni patung sangat berkembang, baik patung-patung
bentuk manusia maupun binatang. Akan tetapi, sesudah zaman madya, seni patung
berkembang seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini.
Walaupun seni patung untuk menggambarkan makhluk hidup
secara nyata tidak diperbolehkan. Akan tetapi, seni pahat atau seni ukir terus
berkembang. Para seniman tidak ragu-ragu mengembangkan seni hias dan seni ukir
dengan motif daun-daunan dan bunga-bungaan seperti yang telah dikembangkan
sebelumnya. Kemudian juga ditambah seni hias dengan huruf Arab (kaligrafi).
Bahkan muncul kreasi baru, yaitu kalau terpaksa ingin
melukiskan makhluk hidup, akan disamar dengan berbagai hiasan, sehingga tidak lagi
jelasjelas berwujud binatang atau manusia. Banyak sekali bangunan-bangunan
Islam yang dihiasi dengan berbagai motif ukir-ukiran. Misalnya, ukir-ukiran
pada pintu atau tiang pada bangunan keraton ataupun masjid, pada gapura atau
pintu gerbang. Dikembangkan juga seni hias atau seni ukir dengan bentuk tulisan
Arab yang dicampur dengan ragam hias yang lain. Bahkan ada seni kaligrafi yang
membentuk orang, binatang, atau wayang.
D. Aksara
dan Sastra
Tersebarnya Islam di Indonesia membawa pengaruh dalam
bidang aksara atau tulisan. Abjad atau huruf-huruf Arab sebagai abjad yang
digunakan untuk menulis bahasa Arab mulai digunakan di Indonesia. Bahkan huruf
Arab digunakan di bidang seni ukir. Berkaitan dengan itu berkembang seni
kaligrafi di zaman madya tidak terlepas dari pengaruh unsur sastra sebelumnya.
Dengan demikian terjadilah akulturasi antara sastra Islam dengan sastra yang
berkembang di zaman pra-Islam. Seni sastra di zaman Islam terutama berkembang
di Melayu dan Jawa.
Dilihat
dari corak dan isinya, ada beberapa jenis seni sastra seperti berikut.
a) Hikayat
adalah karya sastra yang berisi cerita sejarah ataupun dongeng. Dalam hikayat
banyak ditulis berbagai peristiwa yang menarik, keajaiban, atau hal-hal yang
tidak masuk akal. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau
prosa). Hikayat-hikayat yang terkenal, misalnya Hikayat Iskandar Zulkarnain,
Hikayat RajaRaja Pasai, Hikayat Khaidir, Hikayat si Miskin, Hikayat 1001 Malam,
Hikayat Bayan Budiman, dan Hikayat Amir Hamzah.
b) Babad
mirip dengan hikayat. Penulisan babad seperti tulisan sejarah, tetapi isinya
tidak selalu berdasarkan fakta. Jadi, isinya campuran antara fakta sejarah,
mitos, dan kepercayaan. Di tanah Melayu terkenal dengan sebutan tambo atau
salasilah. Contoh babad adalah Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Mataram,
dan Babad Surakarta.
c) Syair
berasal dari perkataan Arab untuk menamakan karya sastra berupa sajaksajak yang
terdiri atas empat baris setiap baitnya. Contoh syair sangat tua adalah syair
yang tertulis pada batu nisan makam putri Pasai di Minye Tujoh.
d) Suluk
merupakan karya sastra yang berupa kitab-kitab dan isinya menjelaskan soal-soal
tasawufnya. Contoh suluk yaitu Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, dan Suluk Malang
Sumirang.
E. Kesenian
Di
Indonesia, Islam menghasilkan kesenian bernafas Islam yang bertujuan untuk
menyebarkan ajaran Islam. Kesenian tersebut, misalnya sebagai berikut.
a) Permainan
debus, yaitu tarian yang pada puncak acara para penari menusukkan benda tajam
ke tubuhnya tanpa meninggalkan luka. Tarian ini diawali dengan pembacaan
ayatayat dalam Al Quran dan salawat nabi. Tarian ini terdapat di Banten dan
Minangkabau.
b) Seudati,
sebuah bentuk tarian dari Aceh. Seudati berasal dan kata syaidati yang artinya
permainan orang-orang besar. Seudati sering disebut saman artinya delapan.
Tarian ini aslinya dimainkan oleh delapan orang penari. Para pemain menyanyikan
lagu yang isinya antara lain salawat nabi.
c) Wayang,
termasuk wayang kulit. Pertunjukan wayang sudah berkembang sejak zaman Hindu,
akan tetapi, pada zaman Islam terus dikembangkan. Kemudian berdasarkan cerita
Amir Hamzah dikembangkan pertunjukan wayang golek.
F. Kalender
Menjelang tahun ketiga pemerintahan Khalifah Umar bin
Khattab, beliau berusaha membenahi kalender Islam. Perhitungan tahun yang
dipakai atas dasar peredaran bulan (komariyah). Umar menetapkan tahun 1 H
bertepatan dengan tanggal 14 September 622 M, sehingga sekarang kita mengenal
tahun Hijriyah. Sistem kalender itu juga berpengaruh di Nusantara. Bukti
perkembangan sistem penanggalan (kalender) yang paling nyata adalah sistem
kalender yang diciptakan oleh Sultan Agung. Ia melakukan sedikit perubahan,
mengenai nama-nama bulan pada tahun Saka.
Misalnya bulan Muharam diganti dengan Sura dan Ramadhan
diganti dengan Pasa. Kalender tersebut dimulai tanggal 1 Muharam tahun 1043 H.
Kalender Sultan Agung dimulai tepat dengan tanggal 1 Sura tahun 1555 Jawa (8
Agustus 1633). Masih terdapat beberapa bentuk lain dan akulturasi antara
kebudayaan pra-Islam dengan kebudayaan Islam. Misalnya upacara kelahiran
perkawinan dan kematian. Masyarakat Jawa juga mengenal berbagai kegiatan
selamatan dengan bentuk kenduri. Selamatan diadakan pada waktu tertentu.
Misalnya, selamatan atau kenduri pada 10 Muharam untuk memperingati HasanHusen
(putra Ali bin Abu Thalib), Maulid Nabi (untuk memperingati kelahiran Nabi
Muhammad), Ruwahan (Nyadran) untuk menghormati para leluhur atau sanak keluarga
yang sudah meninggal.
No comments:
Post a Comment